Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Wednesday, 8 May 2013

Sunday, April 21st 2013



      

          Mrs. Yacht terdengar sungguhan sinting saat mengundangku ke rumahnya.
                Andai saja dia tampak sungguhan seperti itu, sinting maksudku. Tapi dia memakai baju terusan alias daster dengan benang yang utuh di semua bagian, dan memanggil kedua anaknya dengan sayang. Setrika yang dia gunakan juga terlihat mantap ditangannya, jadi aku tahu dia sedang sangat sadar saat itu. Barulah aku bisa bernapas dengan—sedikit—tenang. Antisipasiku bisa dialihkan pada hal lain. Harapanku tidak muluk, tidakkah kau berpikir demikian?
                Aku tidak bisa mengerti apa yang orang-orang seperti Mrs. Yacht lihat dariku. Dia tidak melihatku sejelas yang kutakutkan, untungnya. Aku tidak nyaman diartikan oleh orang yang tidak begitu kuharapkan. Orang asing yang tidak memiliki hubungan apapun denganku selain kesamaan dimensi ruang dan waktu yang kami tempati, mereka berada pada daftar terbawah. Bukan berarti daftarnya sungguhan ada. Tetapi kalau orang yang kuharapakan tidak kunjung melakukannya untukku, aku lebih baik mengurung diri dan menunggu hingga dia berubah pikiran. Atau mungkin waktu akan membuatnya berubah pikiran. Berhubung semua orang disekitarku, kebanyakan, tidak peduli pada apa yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang termasuk tapi tidak terbatas pada: hura-hura; hubungan monogami acak khas abad 21 (lebih dikenal dengan sebutan pacaran); penjiplakan jati diri yang bersumber dari ahli-ahli terkenal demi mendapat pengakuan dan penghargaan akademis; apa yang harus mereka tulis di akun jejaring sosial mereka yang bisa membuat ‘orang’ percaya akan kepuitisan mereka; semua kegiatan yang akan meningkatkan kadar air di otak mereka tapi tidak di suatu tempat didalam ‘sana’; mati-matian berusaha terlihat berbeda dengan menjadi sama (diantaranya adalah dengan memiliki kepekaan berbeda yang sama, idola berbeda yang sama, aliran lagu berbeda yang sama, paham politik berbeda yang sama, dan berbeda-sama yang lain); dan sibuk mengikuti dan menerapkan isu-isu global sehingga lupa berpikir secara lokal, bahkan melupakan unit lokal terkecil yaitu diri mereka sendiri.
                Kita adalah orang yang pura-puranya adalah kita.
                Sekarang kita tahu Jessica tidak asal mengatakannya. Kalau hasil observasi singkat yang paling dangkal yang baru saja kutuliskan diatas tidak cukup menjadi buktinya, aku tidak tahu apalagi yang bisa. Aku teringat percakapan lucu dengan Abigail beberapa waktu yang lalu di perpustakaan, kalau kau ingin tahu.
                “Aku tidak pernah bisa membayangkan aku punya pacar sungguhan,” kataku sambil memutar April—handphone-ku—dimeja.
                Dia, tanpa disangka-sangka, melongo. Mulutnya benar-benar menganga. “Kenapa?”
                Aku bergerak-gerak gelisah di tempat dudukku. Belakangan kusadari itu karena aku tahu aku akan menjelaskan diriku, dan kebenaran yang akan kuutarakan tidak akan membuat pengakuan itu lebih mudah, karena aku sendiri kerap mengutarakan kebenaran secara acak. Reaksi lawan bicaraku samasekali tidak penting. Buatku kebenaran itu jenis hal yang harus dikeluarkan bukannya disimpan dalam-dalam. Hal lain belakangan.
                “Aku tidak melihat sesuatu yang tidak bisa kudapatkan dari hubungan platonis biasa.”
                Oke. Aku baru saja berbohong. Tapi tidak sepenuhnya kebohongan karena aku tahu segalanya mungkin. Segalanya, termasuk kemungkinan bahwa aku bisa saja menemukan apapun yang aku cari dalam hubungan romantis antar-manusia. Prinsipku ‘right one atau tidak sama sekali’ yang kebanyakan menahanku. Aku (mungkin) akan bersyukur untuk itu nanti.
                Aku melihat bagaimana Abigail kehilangan kata-kata (mungkin karena dia tidak tahu platonis itu apa). Matanya melebar sungguhan seperti di sinetron. Kalau aku sedang tidak tertekan aku pasti sudah tertawa.
                Aku sih terus bicara. “Aku sudah melihat cukup banyak untuk tahu pacaran dan semua protokoler didalamnya tidak setulus dan semenakjubkan yang orang-orang bayangkan. Kebanyakan orang mengira mereke harus pacaran alih-alih butuh, yang menjadikan semua hubungan yang mereka jalani kehilangan makna. Pacaran buatku adalah hal besar. Semacam komitmen buat perasaan, dan perasaan adalah hal yang paling vital dalam sistemku. Sementara segala macam hal yang berhubungan dengan pacaran menjelma menjadi semacam trend guna menunjukkan seberapa taat kau dalam mengikuti arus, aku tidak berpikir perlu melakukannya juga. Atau memaksa jatuh cinta gila-gilaaan hanya agar orang-orang percaya aku normal. Aku selalu yakin kadang-kadang cinta dilihat hanya sebagai abstraksi yang menyenangkan oleh sebagian orang. Itulah kenapa mereka bisa jatuh cinta berkali-kali. Dan mereka menyebut ini normal. Oh aku pernah kok jatuh cinta. Tetapi aku mendapat kepuasan dengan menyimpan cerita itu untuk diriku sendiri. Mungkin aku percaya dengan memeliharanya, menjaga perasaan itu tanpa perlu repot-repot menginginkan lebih, aku bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorongku untuk bergerak setiap hari.”
                Temanku tersayang, aku baru saja mengucapkan satu narasi penuh dalam satu tarikan napas. Astaga. Aku yakin Abigail sudah ingin kabur dari sana saat itu juga. Tetapi kediamannya memprovokasiku karena aku tahu dia berpikir aku tidak masuk akal dan mengasihaniku.
                ASTAGA! Aku orang yang berhasil menemukan makna cinta tanpa merusaknya, buat apa dia mengasihaniku?!
                “Kenapa. Harus. Mendorongnya. Ke…” Aku sedang mengeja poinku yang selanjutnya ketika aku tiba-tiba sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi: aku membuat cewek ini takut.
                Haha! Seperti inilah hal-hal di sepanjang sisa umur di bumi akan berlangsung.
                Kutepuk-tepuk pundaknya dan kutarik jurnalku ke bawah hidungku. Mestinya aku tidak perlu mencoba peruntunganku, eh? Berbicara panjang lebar kepada orang secara acak dan berharap diam-diam salah satu dari mereka akan berakhir sebagai Kendall jilid #2.
                “Aku bisa mengerti..” Abigail berkata lambat-lambat.
                “Oh, tentu. Tentu saja kau mengerti,” kataku ramah. “Hei, apa kau  tahu cafeteria menyediakan menu spaghetti sekarang?”
                “Benarkah?”
                “Eh, tidak juga. Sebenarnya, kenapa kita tidak kesana dan mengeceknya?”
                Jadi begitulah. Aku memimpin Abigail menuju cafeteria tempatku akhirnya memesan mie goreng dan jus jeruk. Sudah ada beberapa orang disana. Judith, Annabeth dan teman-temannya yang lain. Para cowok juga ada disana. Mengotak-atik laptop, merokok, dan tertawa keras-keras.
                Kendall, melalui short message, bercerita tentang bagaimana kelakuan Vitamin—crush-nya—membuatnya gila. Aku balas menggodanya seperti yang biasa kulakukan.
                Kita benar-benar orang-orang yang pura-puranya adalah kita. Tetapi aku sangat senang bisa mengakui ini: aku tidak pernah harus berpura-pura dengannya, Kendall. Yang berjarak ribuan mil dari sini. Sekalipun khawatir jarak itu akan tetap saja terbentang dalam waktu yang cukup lama karena aku tampaknya cuma berputar-putar ditempat, aku tahu dia menderita kegelisahan yang sama. Kami berdua sudah dianggap gila karena tidak menempuh jalan yang sama seperti semua orang dalam urusan perasaan. Apa aku sudah bilang aku menyayanginya karena ini? Baiklah, aku menyayanginya aku menyayanginya, aku menyayanginya.
                Sementara itu, orang-orang di cafeteria, mereka masih di cafetaria. Aku pernah mendengar ungkapan ini: orang-orang baik selalu saja mati lebih dulu. Orang-orang jahat juga akan mati pada akhirnya. Tetapi orang-orang pengecut yang selamanya bermain aman dan mengikuti arus, mereka mewarisi dunia.
                Mereka tengah kehilangan sesuatu yang besar, bagaimana mereka bisa setenang dan tertawa selebar ini?
                Kau benar, aku tidak kepingin mewarisi dunia. Aku hanya ingin menjadi aku.



Me, yes, Me,
F





No comments:

Post a Comment