Mrs.
Yacht terdengar sungguhan sinting saat mengundangku ke rumahnya.
Andai
saja dia tampak sungguhan seperti itu, sinting maksudku. Tapi dia memakai baju
terusan alias daster dengan benang yang utuh di semua bagian, dan memanggil
kedua anaknya dengan sayang. Setrika yang dia gunakan juga terlihat mantap
ditangannya, jadi aku tahu dia sedang sangat sadar saat itu. Barulah aku bisa
bernapas dengan—sedikit—tenang. Antisipasiku bisa dialihkan pada hal lain.
Harapanku tidak muluk, tidakkah kau berpikir demikian?
Aku
tidak bisa mengerti apa yang orang-orang seperti Mrs. Yacht lihat dariku. Dia
tidak melihatku sejelas yang kutakutkan, untungnya. Aku tidak nyaman diartikan
oleh orang yang tidak begitu kuharapkan. Orang asing yang tidak memiliki
hubungan apapun denganku selain kesamaan dimensi ruang dan waktu yang kami
tempati, mereka berada pada daftar terbawah. Bukan berarti daftarnya sungguhan
ada. Tetapi kalau orang yang kuharapakan tidak kunjung melakukannya untukku,
aku lebih baik mengurung diri dan menunggu hingga dia berubah pikiran. Atau
mungkin waktu akan membuatnya berubah
pikiran. Berhubung semua orang disekitarku, kebanyakan, tidak peduli pada apa
yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang termasuk tapi tidak terbatas
pada: hura-hura; hubungan monogami acak khas abad 21 (lebih dikenal dengan
sebutan pacaran); penjiplakan jati
diri yang bersumber dari ahli-ahli terkenal demi mendapat pengakuan dan
penghargaan akademis; apa yang harus mereka tulis di akun jejaring sosial
mereka yang bisa membuat ‘orang’ percaya akan kepuitisan mereka; semua kegiatan
yang akan meningkatkan kadar air di otak mereka tapi tidak di suatu tempat
didalam ‘sana’; mati-matian berusaha terlihat berbeda dengan menjadi sama
(diantaranya adalah dengan memiliki kepekaan berbeda yang sama, idola berbeda
yang sama, aliran lagu berbeda yang sama, paham politik berbeda yang sama, dan
berbeda-sama yang lain); dan sibuk mengikuti dan menerapkan isu-isu global
sehingga lupa berpikir secara lokal, bahkan melupakan unit lokal terkecil yaitu
diri mereka sendiri.
Kita adalah orang yang pura-puranya adalah
kita.
Sekarang
kita tahu Jessica tidak asal mengatakannya. Kalau hasil observasi singkat yang
paling dangkal yang baru saja kutuliskan diatas tidak cukup menjadi buktinya,
aku tidak tahu apalagi yang bisa. Aku teringat percakapan lucu dengan Abigail
beberapa waktu yang lalu di perpustakaan, kalau kau ingin tahu.
“Aku
tidak pernah bisa membayangkan aku punya pacar sungguhan,” kataku sambil
memutar April—handphone-ku—dimeja.
Dia,
tanpa disangka-sangka, melongo. Mulutnya benar-benar menganga. “Kenapa?”
Aku
bergerak-gerak gelisah di tempat dudukku. Belakangan kusadari itu karena aku
tahu aku akan menjelaskan diriku, dan kebenaran yang akan kuutarakan tidak akan
membuat pengakuan itu lebih mudah, karena aku sendiri kerap mengutarakan
kebenaran secara acak. Reaksi lawan bicaraku samasekali tidak penting. Buatku
kebenaran itu jenis hal yang harus dikeluarkan bukannya disimpan dalam-dalam.
Hal lain belakangan.
“Aku tidak
melihat sesuatu yang tidak bisa kudapatkan dari hubungan platonis biasa.”
Oke.
Aku baru saja berbohong. Tapi tidak sepenuhnya kebohongan karena aku tahu
segalanya mungkin. Segalanya, termasuk kemungkinan bahwa aku bisa saja
menemukan apapun yang aku cari dalam hubungan romantis antar-manusia. Prinsipku
‘right one atau tidak sama sekali’ yang kebanyakan menahanku. Aku (mungkin)
akan bersyukur untuk itu nanti.
Aku
melihat bagaimana Abigail kehilangan kata-kata (mungkin karena dia tidak tahu
platonis itu apa). Matanya melebar sungguhan seperti di sinetron. Kalau aku
sedang tidak tertekan aku pasti sudah tertawa.
Aku sih
terus bicara. “Aku sudah melihat cukup banyak untuk tahu pacaran dan semua
protokoler didalamnya tidak setulus dan semenakjubkan yang orang-orang
bayangkan. Kebanyakan orang mengira mereke harus
pacaran alih-alih butuh, yang
menjadikan semua hubungan yang mereka jalani kehilangan makna. Pacaran buatku
adalah hal besar. Semacam komitmen buat perasaan, dan perasaan adalah hal yang
paling vital dalam sistemku. Sementara segala macam hal yang berhubungan dengan
pacaran menjelma menjadi semacam trend guna menunjukkan seberapa taat kau dalam
mengikuti arus, aku tidak berpikir perlu melakukannya juga. Atau memaksa jatuh
cinta gila-gilaaan hanya agar orang-orang percaya aku normal. Aku selalu yakin kadang-kadang cinta dilihat hanya sebagai
abstraksi yang menyenangkan oleh sebagian orang. Itulah kenapa mereka bisa jatuh cinta berkali-kali. Dan mereka
menyebut ini normal. Oh aku pernah kok jatuh cinta. Tetapi aku mendapat
kepuasan dengan menyimpan cerita itu untuk diriku sendiri. Mungkin aku percaya
dengan memeliharanya, menjaga perasaan itu tanpa perlu repot-repot menginginkan
lebih, aku bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorongku untuk bergerak
setiap hari.”
Temanku
tersayang, aku baru saja mengucapkan satu narasi penuh dalam satu tarikan
napas. Astaga. Aku yakin Abigail sudah ingin kabur dari sana saat itu juga. Tetapi
kediamannya memprovokasiku karena aku tahu dia berpikir aku tidak masuk akal
dan mengasihaniku.
ASTAGA!
Aku orang yang berhasil menemukan makna cinta tanpa merusaknya, buat apa dia
mengasihaniku?!
“Kenapa.
Harus. Mendorongnya. Ke…” Aku sedang mengeja poinku yang selanjutnya ketika aku
tiba-tiba sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi: aku membuat cewek ini
takut.
Haha! Seperti
inilah hal-hal di sepanjang sisa umur di bumi akan berlangsung.
Kutepuk-tepuk
pundaknya dan kutarik jurnalku ke bawah hidungku. Mestinya aku tidak perlu
mencoba peruntunganku, eh? Berbicara panjang lebar kepada orang secara acak dan
berharap diam-diam salah satu dari mereka akan berakhir sebagai Kendall jilid
#2.
“Aku
bisa mengerti..” Abigail berkata lambat-lambat.
“Oh,
tentu. Tentu saja kau mengerti,”
kataku ramah. “Hei, apa kau tahu
cafeteria menyediakan menu spaghetti sekarang?”
“Benarkah?”
“Eh,
tidak juga. Sebenarnya, kenapa kita tidak kesana dan mengeceknya?”
Jadi
begitulah. Aku memimpin Abigail menuju cafeteria tempatku akhirnya memesan mie
goreng dan jus jeruk. Sudah ada beberapa orang disana. Judith, Annabeth dan
teman-temannya yang lain. Para cowok juga ada disana. Mengotak-atik laptop,
merokok, dan tertawa keras-keras.
Kendall,
melalui short message, bercerita
tentang bagaimana kelakuan Vitamin—crush-nya—membuatnya
gila. Aku balas menggodanya seperti yang biasa kulakukan.
Kita benar-benar orang-orang yang
pura-puranya adalah kita. Tetapi aku sangat senang bisa mengakui ini: aku tidak
pernah harus berpura-pura dengannya, Kendall. Yang berjarak ribuan mil dari
sini. Sekalipun khawatir jarak itu akan tetap saja terbentang dalam waktu yang
cukup lama karena aku tampaknya cuma berputar-putar ditempat, aku tahu dia
menderita kegelisahan yang sama. Kami berdua sudah dianggap gila karena tidak
menempuh jalan yang sama seperti semua orang dalam urusan perasaan. Apa aku
sudah bilang aku menyayanginya karena ini? Baiklah, aku menyayanginya aku
menyayanginya, aku menyayanginya.
Sementara
itu, orang-orang di cafeteria, mereka masih di cafetaria. Aku pernah mendengar
ungkapan ini: orang-orang baik selalu saja mati lebih dulu. Orang-orang jahat
juga akan mati pada akhirnya. Tetapi orang-orang pengecut yang selamanya
bermain aman dan mengikuti arus, mereka mewarisi dunia.
Mereka
tengah kehilangan sesuatu yang besar, bagaimana mereka bisa setenang dan
tertawa selebar ini?
Kau
benar, aku tidak kepingin mewarisi dunia. Aku hanya ingin menjadi aku.
Me, yes, Me,
F
No comments:
Post a Comment