Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Wednesday, 8 May 2013

Saturday, May 4th 2013


 

                Jurnal, si teman terbaik, sedang berada dalam masa vakum.
                Bukan apa-apa, aku lupa membeli kertas isinya dan.. yah, aku lupa. Masa’ kau tidak pernah melihat orang lupa sih? Yah, jarak waktu sejak pertama kali aku sadar aku kehabisan stok sampai saat ini memang lumayan panjang. Duh, aku tidak mau dibuat merasa bersalah di paragraf pertamaku. Mengerti sedikit dong!
                Aku perlu menginformasikan beberapa hal (kayaknya). Minggu-minggu ujian penuh ketegangan akan segera muncul—sudah muncul; aku tegang dan semuanya, terlebih setelah aku tahu salah satu mata kuliah akan berakhir dengan nilai E. Plus, beberapa dosen terlihat sungguhan cerdas (jenis cerdas yang membuat kepalamu tertunduk dan mulutmu terkatup, simply karena beberapa orang mendapatkan kepercayan diri dengan menganggap dirinya bisa bicara apa saja selagi lawan bicaranya tidak tahu apa yang dia bicarakan, dan dosen-dosen ini tidak menyediakan pilihan semacam itu. Aku akan membuatmu senang dengan memintamu menebak siapa orang yang sedang kubicarakan). Hubungan dengan Kendall berjalan selancar biasanya dan April, well, dia paling tidak bahagia; paling tidak dia tidak memutuskan hubungan ke tahap yang membuatku samasekali tidak bisa melihatnya. Bukan hal baru, aku mengerti. Berikutnya, orang-orang masih menganggapku setengah alien setengah troll; ini secara otomatis menjelaskan kenapa aku tidak punya teman dekat dan orang-orang secara alami menghindariku. Bukan bagian yang belum pernah kau dengar, dan aku tidak sedang mengeluh loh. Aku tahu aku jarang menyinggung ini, pikiranku demikian teralihkan oleh hal-hal lain, tapi ini soal pintu keluar, yang sekarang setelah semuanya, baru bisa kembali mengingatkanku kalau aku sedang mengusahakannya juga untuk orang-orang ini, yang kutinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku memang tidak terlalu menikmati membahas mereka di sini. Mereka terlalu pribadi sekaligus umum sehingga kadang-kadang aku tidak tahu bagaimana menyikapi mereka. Menurutku interaksi dengan mereka di dunia nyata sudah lebih dari cukup, aku perlu tempat dimana aku bisa mengkhawatirkan hal-hal lain. Atau bersembunyi. Mau bagaimana lagi, sastra bukan hanya membantu mengeluarkan yang terbaik dariku, namun juga yang terburuk. Aku menikmati berlama-lama dalam pikiranku dan menganalisa segalanya berlebihan (tidak dalam cara yag pintar, hanya aneh), tapi kepalaku ‘kan bukan tempat paling menyenangkan di muka bumi.
                Nah, beberapa orang memang tidak mengerti dengan konsep Leave Me Alone! Beberapa akan ngotot menarikmu keluar.
                “Kau sulit sekali dicari.” Astrid mendengus sebal selagi mengendarai mobilnya. Oh mobilnya bagus kok, plat-nya berserikan daerah asalku.
                “Begitu? Kemarin aku bolos. Ada apa?” tanyaku.
                “Sudah lama kita tidak ngumpul,” jawab Astrid cepat
                “Ya, memangnya kau sedikitpun tidak kangen pada kami?” sambung Lave disebelahnya.
                “Memangnya kalian akan pergi dalam waktu dekat?”
                Salah sesorang diantara mereka berdua, aku lupa yang mana, memutar bola mata. Mereka tidak sejago aku dalam melakukannya asal tahu saja. “Bukan! Tapi kami benar-benar tidak mendengar kabarmu selama dua minggu. Kau juga tidak hadir saat semua orang berkumpul.”
                Aku menaikkan alis, “Aku menghadiri acara Mubes dan kalian tidak. Dan, oh please, aku bahkan tidak memberi kabar pada ibuku setiap hari. Kenapa aku harus melakukannya pada kalian?”
                Astrid seperti ingin menarik rambutku, lumayan lucu sih kalau dia yang melakukannya. Astrid bagaimanapun adalah mahasiswi psikologi yang tahu kadar kejiwaanku yang tidak selalu stabil. Astrid juga orang yang bisa diajak melucu tentang Freudian tanpa membuatmu merasa berada ditengah seminar. Dengan kata lain, cewek ini punya potensi.
                “Kami temanmu,” katanya. “Kalau ada sesuatu yang menimpamu, seperti yang kau tulis di facebook—“
                Tunggu sebentar,” aku buru-buru memotongnya. “Memangnya apa yang kutulis disana?”
                “Kau kelihatan seperti sedang galau,” jawab Hensel.
                Aku tertawa. Kalau kau mengira kuliah akan membuat orang-orang ini memperhatikan hal lain, tanda-tanda lain selain yang disiratkan di facebook atau twitter, sekaranglah saat yang tepat untuk menyesalinya.
                “Astaga, kalian semua. Bagaimana bisa statement kalian kategorikan sebagai galau? Aku menuliskan keadaan. Itu semua bagian dari pikiranku. Menuliskannya di facebook tidak berarti apa-apa!”
                Sejauh ini benar, kecuali kalau aku sedang berusaha menyampaikan pesan kepada beberapa orang/merasa tertekan untuk menuliskannya di jurnal/kehabisan kertas seperti sekarang.
                Lave mengendikkan bahu. “Seperti itulah kau terlihat.”
                Kau yang melihatnya,” cetusku.
                “Dan juga orang lain.” Sambung Hensel memberikan dukungan penuh pada Lave.
                Oh aku tahu deh ini soal apa. Mengadili. Tapi meraka pikir mereka bertiga bisa seenaknya menilaiku, begitu? Mendikte hal-hal yang kulakukan? Hell no! Aku tahu aku dan aku mengerti hal yang kubutuhkan. Kebutuhanku tidak pernah sampai melibatkan dan menarik semua orang masuk seperti yang mereka lakukan. Malah aku benar-benar tidak butuh orang lain. Hanya kepalaku, dan handphone dengan satu nama penyembuh kerusakan otak.
                Ini bagian yang mereka tidak akan pernah mengerti. Jadi aku melewatkannya dengan senang hati.
                “Kalau begitu aku bersyukur aku dan hidupku tidak ditentukan oleh orang lain,” jawabku sekenanya tapi tepat sasaran.
                “Tapi kalau kalian benar-benar ingin tahu, aku punya jadwal pertandingan basket yang cukup padat. Dan aku kurang merasa sehat setelahnya.”
                “Kenapa kau tidak bilang saja? Kan lebih gampang,” omel Astrid.
                “Maaf,” ujarku sopan. “Aku tidak suka mengumbar keluh kesah pada satu orang secara spesifik.”
                Satu orang kecuali tebak-deh-siapa.
                Mereka tidak bicara apa-apa lagi tentang aku sampai kami menghabiskan makan siang kami. Apa itu tadi, orang-orang ini mau mengadiliku? Yang benar saja.
                Aku berdeham, menyela pembicaraan mengenai pacar yang cukup asyik kalau saja aku tidak sedang pusing dan mengantuk.
                “Kalian dan aku, kita tidak sama. Aku butuh lebih banyak waktu dengan diriku sendiri supaya aku bisa berefleksi,” kataku sejelas-jelasnya. “Kusarankan jangan coba-coba menarikku saat aku sedang berada dalam fase ini. Pikiranku sedang berada di dimensi lain.. Tidak akan bagus buat kalian.”
                Tidak ada yang mengatakan apapun selain Astrid yang memang lebih maju soal hal-hal underneath semacam ini ketimbang yang lain.
                Dia berkata, semacam persetujuan. “Jelas ‘kan kalau sudah begitu.”
                “Begitulah.”
                Dunia tidak pernah tampak sebagaimana adanya. Selalu saja ada sesuatu. Dan mereka yang menghabiskan waktu untuk mecari tahu tidak akan mendapati diri mereka sia-sia. Pernahkah Lave, Hensel, dan Astrid memikirkannya, bukan memikirkan yang serupa ‘Oh aku baru saja putus, aku tahu ini berarti sesuatu’ melainkan yang lebih tidak dapat dijelaskan seperti ‘Kenapa aku berada disini sementara aku tahu seharusnya aku tidak berada disini?’, atau apapun yang sekilas hanya seperti pernyatan bodoh? Mereka pernah tidak, sekali saja, merasa mereka kekurangan, merasa seperti tidak lengkap karena melewatkan sesuatu yang besar, yang sedikitpun mereka tidak tahu itu apa?
                Kebanyakan orang lebih suka memandang hidup sebagai objek. Tetapi hidup sendiri memiliki kehidupan. Dia punya denyut. Setiap detaknya mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tapi aku menganggap tidak ada yang lebih mistis lebih menakjubkan dan lebih misterius dibandingkan dengan denyut ini.
                AKu suka melihatnya.
                Karena itulah aku butuh waktu tanpa orang lain. Bentuk-bentuk fisik terbukti merusak caraku melihatnya. Memang kadang-kadang ini hanya soal kepalaku. Pemikir bebas dan sebagainya. Bahkan, beberapa kali hanya soal mood. Tapi siapapun tidak berhak menghakimi cara yang kupilih. Mereka punya trik dan aku punya trikku sendiri. Silahkan ke sebelah sana dan aku akan ke arah sini.
                Bukankah gampang?
                Oh aku tidak perlu orang-orang menemaniku. Dan aku juga, tidak akan memaksa orang menghiburku. Aku kaku, perilakuku terhadap manusia lain cenderung tidak biasa. Tapi aku tidak akan merangkul, meletakkan sebanyak mungkin orang di bawah lenganku hanya supaya aku merasa lebih baik.
                Aku cuma butuh handphone, kredit, dan kesunyian. Kedamaian.
                Mengingat post terakhirku dinilai begitu remehnya, kurasa bahkan dengan menulis ini semua pengertian tidak akan serta merta muncul. Bisa jadi jurnal ini akan jadi semacam tontonan buat mereka.
                Kegiatan mencurahkan pikiran (dan perasaan) ditanggapi dengan terlalu serius. Padahal sebagai observer, mencatat hal-hal yang terjadi sudah seperti keharusan. Kebetulan saja bentuk yang kupilih adalah narasi. Dan aku cukup bijaksana untuk tidak terpengaruh oleh pendapat-pendapatku sendiri.
                “Makan lagi nanti?”
                “Oh yeaaaaah!”
                Jawaban yang mereka inginkan.
Oh No,
F
 
 
 

No comments:

Post a Comment