Jurnal,
si teman terbaik, sedang berada dalam masa vakum.
Bukan
apa-apa, aku lupa membeli kertas isinya dan.. yah, aku lupa. Masa’ kau tidak
pernah melihat orang lupa sih? Yah, jarak waktu sejak pertama kali aku sadar
aku kehabisan stok sampai saat ini memang lumayan panjang. Duh, aku tidak mau
dibuat merasa bersalah di paragraf pertamaku. Mengerti sedikit dong!
Aku
perlu menginformasikan beberapa hal (kayaknya). Minggu-minggu ujian penuh
ketegangan akan segera muncul—sudah muncul;
aku tegang dan semuanya, terlebih setelah aku tahu salah satu mata kuliah akan
berakhir dengan nilai E. Plus, beberapa dosen terlihat sungguhan cerdas (jenis
cerdas yang membuat kepalamu tertunduk dan mulutmu terkatup, simply karena beberapa orang mendapatkan
kepercayan diri dengan menganggap dirinya bisa bicara apa saja selagi lawan
bicaranya tidak tahu apa yang dia bicarakan, dan dosen-dosen ini tidak
menyediakan pilihan semacam itu. Aku akan membuatmu senang dengan memintamu
menebak siapa orang yang sedang kubicarakan). Hubungan dengan Kendall berjalan
selancar biasanya dan April, well,
dia paling tidak bahagia; paling tidak
dia tidak memutuskan hubungan ke tahap yang membuatku samasekali tidak bisa
melihatnya. Bukan hal baru, aku mengerti. Berikutnya, orang-orang masih
menganggapku setengah alien setengah troll; ini secara otomatis menjelaskan
kenapa aku tidak punya teman dekat dan orang-orang secara alami menghindariku.
Bukan bagian yang belum pernah kau dengar, dan aku tidak sedang mengeluh loh.
Aku tahu aku jarang menyinggung ini, pikiranku demikian teralihkan oleh hal-hal
lain, tapi ini soal pintu keluar, yang sekarang setelah semuanya, baru bisa
kembali mengingatkanku kalau aku sedang mengusahakannya juga untuk orang-orang
ini, yang kutinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Tidak tahu apa yang terjadi,
tapi aku memang tidak terlalu menikmati membahas mereka di sini. Mereka terlalu
pribadi sekaligus umum sehingga kadang-kadang aku tidak tahu bagaimana
menyikapi mereka. Menurutku interaksi dengan mereka di dunia nyata sudah lebih
dari cukup, aku perlu tempat dimana aku bisa mengkhawatirkan hal-hal lain. Atau
bersembunyi. Mau bagaimana lagi, sastra bukan hanya membantu mengeluarkan yang
terbaik dariku, namun juga yang terburuk. Aku menikmati berlama-lama dalam
pikiranku dan menganalisa segalanya berlebihan (tidak dalam cara yag pintar,
hanya aneh), tapi kepalaku ‘kan bukan tempat paling menyenangkan di muka bumi.
Nah,
beberapa orang memang tidak mengerti dengan konsep Leave Me Alone! Beberapa akan ngotot menarikmu keluar.
“Kau
sulit sekali dicari.” Astrid mendengus sebal selagi mengendarai mobilnya. Oh
mobilnya bagus kok, plat-nya berserikan daerah asalku.
“Begitu?
Kemarin aku bolos. Ada apa?” tanyaku.
“Sudah
lama kita tidak ngumpul,” jawab Astrid cepat
“Ya,
memangnya kau sedikitpun tidak kangen pada kami?” sambung Lave disebelahnya.
“Memangnya
kalian akan pergi dalam waktu dekat?”
Salah
sesorang diantara mereka berdua, aku lupa yang mana, memutar bola mata. Mereka
tidak sejago aku dalam melakukannya asal tahu saja. “Bukan! Tapi kami
benar-benar tidak mendengar kabarmu selama dua minggu. Kau juga tidak hadir
saat semua orang berkumpul.”
Aku
menaikkan alis, “Aku menghadiri acara Mubes dan kalian tidak. Dan, oh please, aku bahkan tidak memberi kabar
pada ibuku setiap hari. Kenapa aku harus melakukannya pada kalian?”
Astrid
seperti ingin menarik rambutku, lumayan lucu sih kalau dia yang melakukannya.
Astrid bagaimanapun adalah mahasiswi psikologi yang tahu kadar kejiwaanku yang
tidak selalu stabil. Astrid juga orang yang bisa diajak melucu tentang Freudian
tanpa membuatmu merasa berada ditengah seminar. Dengan kata lain, cewek ini
punya potensi.
“Kami
temanmu,” katanya. “Kalau ada sesuatu yang menimpamu, seperti yang kau tulis di
facebook—“
“Tunggu sebentar,” aku
buru-buru memotongnya. “Memangnya apa yang kutulis disana?”
“Kau
kelihatan seperti sedang galau,” jawab Hensel.
Aku
tertawa. Kalau kau mengira kuliah akan membuat orang-orang ini memperhatikan
hal lain, tanda-tanda lain selain yang disiratkan di facebook atau twitter, sekaranglah
saat yang tepat untuk menyesalinya.
“Astaga,
kalian semua. Bagaimana bisa statement
kalian kategorikan sebagai galau? Aku menuliskan keadaan. Itu semua bagian dari
pikiranku. Menuliskannya di facebook
tidak berarti apa-apa!”
Sejauh
ini benar, kecuali kalau aku sedang berusaha menyampaikan pesan kepada beberapa
orang/merasa tertekan untuk menuliskannya di jurnal/kehabisan kertas seperti
sekarang.
Lave
mengendikkan bahu. “Seperti itulah kau terlihat.”
“Kau yang melihatnya,” cetusku.
“Dan
juga orang lain.” Sambung Hensel memberikan dukungan penuh pada Lave.
Oh aku
tahu deh ini soal apa. Mengadili.
Tapi meraka pikir mereka bertiga bisa seenaknya menilaiku, begitu? Mendikte
hal-hal yang kulakukan? Hell no! Aku
tahu aku dan aku mengerti hal yang kubutuhkan. Kebutuhanku tidak pernah sampai
melibatkan dan menarik semua orang masuk seperti yang mereka lakukan. Malah aku
benar-benar tidak butuh orang lain. Hanya kepalaku, dan handphone dengan satu nama penyembuh kerusakan otak.
Ini
bagian yang mereka tidak akan pernah mengerti. Jadi aku melewatkannya dengan
senang hati.
“Kalau
begitu aku bersyukur aku dan hidupku tidak ditentukan oleh orang lain,” jawabku
sekenanya tapi tepat sasaran.
“Tapi
kalau kalian benar-benar ingin tahu, aku punya jadwal pertandingan basket yang
cukup padat. Dan aku kurang merasa sehat setelahnya.”
“Kenapa
kau tidak bilang saja? Kan lebih gampang,” omel Astrid.
“Maaf,”
ujarku sopan. “Aku tidak suka mengumbar keluh kesah pada satu orang secara spesifik.”
Satu
orang kecuali tebak-deh-siapa.
Mereka
tidak bicara apa-apa lagi tentang aku sampai kami menghabiskan makan siang
kami. Apa itu tadi, orang-orang ini mau mengadiliku?
Yang benar saja.
Aku
berdeham, menyela pembicaraan mengenai pacar yang cukup asyik kalau saja aku
tidak sedang pusing dan mengantuk.
“Kalian
dan aku, kita tidak sama. Aku butuh lebih banyak waktu dengan diriku sendiri
supaya aku bisa berefleksi,” kataku sejelas-jelasnya. “Kusarankan jangan
coba-coba menarikku saat aku sedang berada dalam fase ini. Pikiranku sedang
berada di dimensi lain.. Tidak akan bagus buat kalian.”
Tidak
ada yang mengatakan apapun selain Astrid yang memang lebih maju soal hal-hal underneath semacam ini ketimbang yang
lain.
Dia
berkata, semacam persetujuan. “Jelas ‘kan kalau sudah begitu.”
“Begitulah.”
Dunia
tidak pernah tampak sebagaimana adanya. Selalu saja ada sesuatu. Dan mereka yang menghabiskan waktu untuk mecari tahu tidak
akan mendapati diri mereka sia-sia. Pernahkah Lave, Hensel, dan Astrid memikirkannya,
bukan memikirkan yang serupa ‘Oh aku baru saja putus, aku tahu ini berarti sesuatu’ melainkan yang lebih tidak
dapat dijelaskan seperti ‘Kenapa aku berada disini sementara aku tahu seharusnya aku tidak berada disini?’,
atau apapun yang sekilas hanya seperti pernyatan bodoh? Mereka pernah tidak,
sekali saja, merasa mereka kekurangan, merasa seperti tidak lengkap karena
melewatkan sesuatu yang besar, yang sedikitpun mereka tidak tahu itu apa?
Kebanyakan
orang lebih suka memandang hidup sebagai objek. Tetapi hidup sendiri memiliki
kehidupan. Dia punya denyut. Setiap
detaknya mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana dengan orang lain,
tapi aku menganggap tidak ada yang lebih mistis lebih menakjubkan dan lebih
misterius dibandingkan dengan denyut ini.
AKu
suka melihatnya.
Karena
itulah aku butuh waktu tanpa orang lain. Bentuk-bentuk fisik terbukti merusak
caraku melihatnya. Memang kadang-kadang ini hanya soal kepalaku. Pemikir bebas
dan sebagainya. Bahkan, beberapa kali hanya soal mood. Tapi siapapun tidak berhak menghakimi cara yang kupilih.
Mereka punya trik dan aku punya trikku sendiri. Silahkan ke sebelah sana dan
aku akan ke arah sini.
Bukankah
gampang?
Oh aku
tidak perlu orang-orang menemaniku. Dan aku juga, tidak akan memaksa orang menghiburku.
Aku kaku, perilakuku terhadap manusia lain cenderung tidak biasa. Tapi aku
tidak akan merangkul, meletakkan sebanyak mungkin orang di bawah lenganku hanya
supaya aku merasa lebih baik.
Aku
cuma butuh handphone, kredit, dan
kesunyian. Kedamaian.
Mengingat
post terakhirku dinilai begitu
remehnya, kurasa bahkan dengan menulis ini semua pengertian tidak akan serta
merta muncul. Bisa jadi jurnal ini akan jadi semacam tontonan buat mereka.
Kegiatan
mencurahkan pikiran (dan perasaan) ditanggapi dengan terlalu serius. Padahal
sebagai observer, mencatat hal-hal
yang terjadi sudah seperti keharusan. Kebetulan saja bentuk yang kupilih adalah
narasi. Dan aku cukup bijaksana untuk tidak terpengaruh oleh
pendapat-pendapatku sendiri.
“Makan
lagi nanti?”
“Oh
yeaaaaah!”
Jawaban
yang mereka inginkan.
Oh No,
F
No comments:
Post a Comment