Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Wednesday, 8 May 2013

You'll See

I've talked about this a lot. At least I can let you figure out what it is

Sunday, April 21st 2013



      

          Mrs. Yacht terdengar sungguhan sinting saat mengundangku ke rumahnya.
                Andai saja dia tampak sungguhan seperti itu, sinting maksudku. Tapi dia memakai baju terusan alias daster dengan benang yang utuh di semua bagian, dan memanggil kedua anaknya dengan sayang. Setrika yang dia gunakan juga terlihat mantap ditangannya, jadi aku tahu dia sedang sangat sadar saat itu. Barulah aku bisa bernapas dengan—sedikit—tenang. Antisipasiku bisa dialihkan pada hal lain. Harapanku tidak muluk, tidakkah kau berpikir demikian?
                Aku tidak bisa mengerti apa yang orang-orang seperti Mrs. Yacht lihat dariku. Dia tidak melihatku sejelas yang kutakutkan, untungnya. Aku tidak nyaman diartikan oleh orang yang tidak begitu kuharapkan. Orang asing yang tidak memiliki hubungan apapun denganku selain kesamaan dimensi ruang dan waktu yang kami tempati, mereka berada pada daftar terbawah. Bukan berarti daftarnya sungguhan ada. Tetapi kalau orang yang kuharapakan tidak kunjung melakukannya untukku, aku lebih baik mengurung diri dan menunggu hingga dia berubah pikiran. Atau mungkin waktu akan membuatnya berubah pikiran. Berhubung semua orang disekitarku, kebanyakan, tidak peduli pada apa yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang termasuk tapi tidak terbatas pada: hura-hura; hubungan monogami acak khas abad 21 (lebih dikenal dengan sebutan pacaran); penjiplakan jati diri yang bersumber dari ahli-ahli terkenal demi mendapat pengakuan dan penghargaan akademis; apa yang harus mereka tulis di akun jejaring sosial mereka yang bisa membuat ‘orang’ percaya akan kepuitisan mereka; semua kegiatan yang akan meningkatkan kadar air di otak mereka tapi tidak di suatu tempat didalam ‘sana’; mati-matian berusaha terlihat berbeda dengan menjadi sama (diantaranya adalah dengan memiliki kepekaan berbeda yang sama, idola berbeda yang sama, aliran lagu berbeda yang sama, paham politik berbeda yang sama, dan berbeda-sama yang lain); dan sibuk mengikuti dan menerapkan isu-isu global sehingga lupa berpikir secara lokal, bahkan melupakan unit lokal terkecil yaitu diri mereka sendiri.
                Kita adalah orang yang pura-puranya adalah kita.
                Sekarang kita tahu Jessica tidak asal mengatakannya. Kalau hasil observasi singkat yang paling dangkal yang baru saja kutuliskan diatas tidak cukup menjadi buktinya, aku tidak tahu apalagi yang bisa. Aku teringat percakapan lucu dengan Abigail beberapa waktu yang lalu di perpustakaan, kalau kau ingin tahu.
                “Aku tidak pernah bisa membayangkan aku punya pacar sungguhan,” kataku sambil memutar April—handphone-ku—dimeja.
                Dia, tanpa disangka-sangka, melongo. Mulutnya benar-benar menganga. “Kenapa?”
                Aku bergerak-gerak gelisah di tempat dudukku. Belakangan kusadari itu karena aku tahu aku akan menjelaskan diriku, dan kebenaran yang akan kuutarakan tidak akan membuat pengakuan itu lebih mudah, karena aku sendiri kerap mengutarakan kebenaran secara acak. Reaksi lawan bicaraku samasekali tidak penting. Buatku kebenaran itu jenis hal yang harus dikeluarkan bukannya disimpan dalam-dalam. Hal lain belakangan.
                “Aku tidak melihat sesuatu yang tidak bisa kudapatkan dari hubungan platonis biasa.”
                Oke. Aku baru saja berbohong. Tapi tidak sepenuhnya kebohongan karena aku tahu segalanya mungkin. Segalanya, termasuk kemungkinan bahwa aku bisa saja menemukan apapun yang aku cari dalam hubungan romantis antar-manusia. Prinsipku ‘right one atau tidak sama sekali’ yang kebanyakan menahanku. Aku (mungkin) akan bersyukur untuk itu nanti.
                Aku melihat bagaimana Abigail kehilangan kata-kata (mungkin karena dia tidak tahu platonis itu apa). Matanya melebar sungguhan seperti di sinetron. Kalau aku sedang tidak tertekan aku pasti sudah tertawa.
                Aku sih terus bicara. “Aku sudah melihat cukup banyak untuk tahu pacaran dan semua protokoler didalamnya tidak setulus dan semenakjubkan yang orang-orang bayangkan. Kebanyakan orang mengira mereke harus pacaran alih-alih butuh, yang menjadikan semua hubungan yang mereka jalani kehilangan makna. Pacaran buatku adalah hal besar. Semacam komitmen buat perasaan, dan perasaan adalah hal yang paling vital dalam sistemku. Sementara segala macam hal yang berhubungan dengan pacaran menjelma menjadi semacam trend guna menunjukkan seberapa taat kau dalam mengikuti arus, aku tidak berpikir perlu melakukannya juga. Atau memaksa jatuh cinta gila-gilaaan hanya agar orang-orang percaya aku normal. Aku selalu yakin kadang-kadang cinta dilihat hanya sebagai abstraksi yang menyenangkan oleh sebagian orang. Itulah kenapa mereka bisa jatuh cinta berkali-kali. Dan mereka menyebut ini normal. Oh aku pernah kok jatuh cinta. Tetapi aku mendapat kepuasan dengan menyimpan cerita itu untuk diriku sendiri. Mungkin aku percaya dengan memeliharanya, menjaga perasaan itu tanpa perlu repot-repot menginginkan lebih, aku bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorongku untuk bergerak setiap hari.”
                Temanku tersayang, aku baru saja mengucapkan satu narasi penuh dalam satu tarikan napas. Astaga. Aku yakin Abigail sudah ingin kabur dari sana saat itu juga. Tetapi kediamannya memprovokasiku karena aku tahu dia berpikir aku tidak masuk akal dan mengasihaniku.
                ASTAGA! Aku orang yang berhasil menemukan makna cinta tanpa merusaknya, buat apa dia mengasihaniku?!
                “Kenapa. Harus. Mendorongnya. Ke…” Aku sedang mengeja poinku yang selanjutnya ketika aku tiba-tiba sadar apa yang sebenarnya sedang terjadi: aku membuat cewek ini takut.
                Haha! Seperti inilah hal-hal di sepanjang sisa umur di bumi akan berlangsung.
                Kutepuk-tepuk pundaknya dan kutarik jurnalku ke bawah hidungku. Mestinya aku tidak perlu mencoba peruntunganku, eh? Berbicara panjang lebar kepada orang secara acak dan berharap diam-diam salah satu dari mereka akan berakhir sebagai Kendall jilid #2.
                “Aku bisa mengerti..” Abigail berkata lambat-lambat.
                “Oh, tentu. Tentu saja kau mengerti,” kataku ramah. “Hei, apa kau  tahu cafeteria menyediakan menu spaghetti sekarang?”
                “Benarkah?”
                “Eh, tidak juga. Sebenarnya, kenapa kita tidak kesana dan mengeceknya?”
                Jadi begitulah. Aku memimpin Abigail menuju cafeteria tempatku akhirnya memesan mie goreng dan jus jeruk. Sudah ada beberapa orang disana. Judith, Annabeth dan teman-temannya yang lain. Para cowok juga ada disana. Mengotak-atik laptop, merokok, dan tertawa keras-keras.
                Kendall, melalui short message, bercerita tentang bagaimana kelakuan Vitamin—crush-nya—membuatnya gila. Aku balas menggodanya seperti yang biasa kulakukan.
                Kita benar-benar orang-orang yang pura-puranya adalah kita. Tetapi aku sangat senang bisa mengakui ini: aku tidak pernah harus berpura-pura dengannya, Kendall. Yang berjarak ribuan mil dari sini. Sekalipun khawatir jarak itu akan tetap saja terbentang dalam waktu yang cukup lama karena aku tampaknya cuma berputar-putar ditempat, aku tahu dia menderita kegelisahan yang sama. Kami berdua sudah dianggap gila karena tidak menempuh jalan yang sama seperti semua orang dalam urusan perasaan. Apa aku sudah bilang aku menyayanginya karena ini? Baiklah, aku menyayanginya aku menyayanginya, aku menyayanginya.
                Sementara itu, orang-orang di cafeteria, mereka masih di cafetaria. Aku pernah mendengar ungkapan ini: orang-orang baik selalu saja mati lebih dulu. Orang-orang jahat juga akan mati pada akhirnya. Tetapi orang-orang pengecut yang selamanya bermain aman dan mengikuti arus, mereka mewarisi dunia.
                Mereka tengah kehilangan sesuatu yang besar, bagaimana mereka bisa setenang dan tertawa selebar ini?
                Kau benar, aku tidak kepingin mewarisi dunia. Aku hanya ingin menjadi aku.



Me, yes, Me,
F





Saturday, May 4th 2013


 

                Jurnal, si teman terbaik, sedang berada dalam masa vakum.
                Bukan apa-apa, aku lupa membeli kertas isinya dan.. yah, aku lupa. Masa’ kau tidak pernah melihat orang lupa sih? Yah, jarak waktu sejak pertama kali aku sadar aku kehabisan stok sampai saat ini memang lumayan panjang. Duh, aku tidak mau dibuat merasa bersalah di paragraf pertamaku. Mengerti sedikit dong!
                Aku perlu menginformasikan beberapa hal (kayaknya). Minggu-minggu ujian penuh ketegangan akan segera muncul—sudah muncul; aku tegang dan semuanya, terlebih setelah aku tahu salah satu mata kuliah akan berakhir dengan nilai E. Plus, beberapa dosen terlihat sungguhan cerdas (jenis cerdas yang membuat kepalamu tertunduk dan mulutmu terkatup, simply karena beberapa orang mendapatkan kepercayan diri dengan menganggap dirinya bisa bicara apa saja selagi lawan bicaranya tidak tahu apa yang dia bicarakan, dan dosen-dosen ini tidak menyediakan pilihan semacam itu. Aku akan membuatmu senang dengan memintamu menebak siapa orang yang sedang kubicarakan). Hubungan dengan Kendall berjalan selancar biasanya dan April, well, dia paling tidak bahagia; paling tidak dia tidak memutuskan hubungan ke tahap yang membuatku samasekali tidak bisa melihatnya. Bukan hal baru, aku mengerti. Berikutnya, orang-orang masih menganggapku setengah alien setengah troll; ini secara otomatis menjelaskan kenapa aku tidak punya teman dekat dan orang-orang secara alami menghindariku. Bukan bagian yang belum pernah kau dengar, dan aku tidak sedang mengeluh loh. Aku tahu aku jarang menyinggung ini, pikiranku demikian teralihkan oleh hal-hal lain, tapi ini soal pintu keluar, yang sekarang setelah semuanya, baru bisa kembali mengingatkanku kalau aku sedang mengusahakannya juga untuk orang-orang ini, yang kutinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku memang tidak terlalu menikmati membahas mereka di sini. Mereka terlalu pribadi sekaligus umum sehingga kadang-kadang aku tidak tahu bagaimana menyikapi mereka. Menurutku interaksi dengan mereka di dunia nyata sudah lebih dari cukup, aku perlu tempat dimana aku bisa mengkhawatirkan hal-hal lain. Atau bersembunyi. Mau bagaimana lagi, sastra bukan hanya membantu mengeluarkan yang terbaik dariku, namun juga yang terburuk. Aku menikmati berlama-lama dalam pikiranku dan menganalisa segalanya berlebihan (tidak dalam cara yag pintar, hanya aneh), tapi kepalaku ‘kan bukan tempat paling menyenangkan di muka bumi.
                Nah, beberapa orang memang tidak mengerti dengan konsep Leave Me Alone! Beberapa akan ngotot menarikmu keluar.
                “Kau sulit sekali dicari.” Astrid mendengus sebal selagi mengendarai mobilnya. Oh mobilnya bagus kok, plat-nya berserikan daerah asalku.
                “Begitu? Kemarin aku bolos. Ada apa?” tanyaku.
                “Sudah lama kita tidak ngumpul,” jawab Astrid cepat
                “Ya, memangnya kau sedikitpun tidak kangen pada kami?” sambung Lave disebelahnya.
                “Memangnya kalian akan pergi dalam waktu dekat?”
                Salah sesorang diantara mereka berdua, aku lupa yang mana, memutar bola mata. Mereka tidak sejago aku dalam melakukannya asal tahu saja. “Bukan! Tapi kami benar-benar tidak mendengar kabarmu selama dua minggu. Kau juga tidak hadir saat semua orang berkumpul.”
                Aku menaikkan alis, “Aku menghadiri acara Mubes dan kalian tidak. Dan, oh please, aku bahkan tidak memberi kabar pada ibuku setiap hari. Kenapa aku harus melakukannya pada kalian?”
                Astrid seperti ingin menarik rambutku, lumayan lucu sih kalau dia yang melakukannya. Astrid bagaimanapun adalah mahasiswi psikologi yang tahu kadar kejiwaanku yang tidak selalu stabil. Astrid juga orang yang bisa diajak melucu tentang Freudian tanpa membuatmu merasa berada ditengah seminar. Dengan kata lain, cewek ini punya potensi.
                “Kami temanmu,” katanya. “Kalau ada sesuatu yang menimpamu, seperti yang kau tulis di facebook—“
                Tunggu sebentar,” aku buru-buru memotongnya. “Memangnya apa yang kutulis disana?”
                “Kau kelihatan seperti sedang galau,” jawab Hensel.
                Aku tertawa. Kalau kau mengira kuliah akan membuat orang-orang ini memperhatikan hal lain, tanda-tanda lain selain yang disiratkan di facebook atau twitter, sekaranglah saat yang tepat untuk menyesalinya.
                “Astaga, kalian semua. Bagaimana bisa statement kalian kategorikan sebagai galau? Aku menuliskan keadaan. Itu semua bagian dari pikiranku. Menuliskannya di facebook tidak berarti apa-apa!”
                Sejauh ini benar, kecuali kalau aku sedang berusaha menyampaikan pesan kepada beberapa orang/merasa tertekan untuk menuliskannya di jurnal/kehabisan kertas seperti sekarang.
                Lave mengendikkan bahu. “Seperti itulah kau terlihat.”
                Kau yang melihatnya,” cetusku.
                “Dan juga orang lain.” Sambung Hensel memberikan dukungan penuh pada Lave.
                Oh aku tahu deh ini soal apa. Mengadili. Tapi meraka pikir mereka bertiga bisa seenaknya menilaiku, begitu? Mendikte hal-hal yang kulakukan? Hell no! Aku tahu aku dan aku mengerti hal yang kubutuhkan. Kebutuhanku tidak pernah sampai melibatkan dan menarik semua orang masuk seperti yang mereka lakukan. Malah aku benar-benar tidak butuh orang lain. Hanya kepalaku, dan handphone dengan satu nama penyembuh kerusakan otak.
                Ini bagian yang mereka tidak akan pernah mengerti. Jadi aku melewatkannya dengan senang hati.
                “Kalau begitu aku bersyukur aku dan hidupku tidak ditentukan oleh orang lain,” jawabku sekenanya tapi tepat sasaran.
                “Tapi kalau kalian benar-benar ingin tahu, aku punya jadwal pertandingan basket yang cukup padat. Dan aku kurang merasa sehat setelahnya.”
                “Kenapa kau tidak bilang saja? Kan lebih gampang,” omel Astrid.
                “Maaf,” ujarku sopan. “Aku tidak suka mengumbar keluh kesah pada satu orang secara spesifik.”
                Satu orang kecuali tebak-deh-siapa.
                Mereka tidak bicara apa-apa lagi tentang aku sampai kami menghabiskan makan siang kami. Apa itu tadi, orang-orang ini mau mengadiliku? Yang benar saja.
                Aku berdeham, menyela pembicaraan mengenai pacar yang cukup asyik kalau saja aku tidak sedang pusing dan mengantuk.
                “Kalian dan aku, kita tidak sama. Aku butuh lebih banyak waktu dengan diriku sendiri supaya aku bisa berefleksi,” kataku sejelas-jelasnya. “Kusarankan jangan coba-coba menarikku saat aku sedang berada dalam fase ini. Pikiranku sedang berada di dimensi lain.. Tidak akan bagus buat kalian.”
                Tidak ada yang mengatakan apapun selain Astrid yang memang lebih maju soal hal-hal underneath semacam ini ketimbang yang lain.
                Dia berkata, semacam persetujuan. “Jelas ‘kan kalau sudah begitu.”
                “Begitulah.”
                Dunia tidak pernah tampak sebagaimana adanya. Selalu saja ada sesuatu. Dan mereka yang menghabiskan waktu untuk mecari tahu tidak akan mendapati diri mereka sia-sia. Pernahkah Lave, Hensel, dan Astrid memikirkannya, bukan memikirkan yang serupa ‘Oh aku baru saja putus, aku tahu ini berarti sesuatu’ melainkan yang lebih tidak dapat dijelaskan seperti ‘Kenapa aku berada disini sementara aku tahu seharusnya aku tidak berada disini?’, atau apapun yang sekilas hanya seperti pernyatan bodoh? Mereka pernah tidak, sekali saja, merasa mereka kekurangan, merasa seperti tidak lengkap karena melewatkan sesuatu yang besar, yang sedikitpun mereka tidak tahu itu apa?
                Kebanyakan orang lebih suka memandang hidup sebagai objek. Tetapi hidup sendiri memiliki kehidupan. Dia punya denyut. Setiap detaknya mengisyaratkan sesuatu. Aku tidak tahu bagaimana dengan orang lain, tapi aku menganggap tidak ada yang lebih mistis lebih menakjubkan dan lebih misterius dibandingkan dengan denyut ini.
                AKu suka melihatnya.
                Karena itulah aku butuh waktu tanpa orang lain. Bentuk-bentuk fisik terbukti merusak caraku melihatnya. Memang kadang-kadang ini hanya soal kepalaku. Pemikir bebas dan sebagainya. Bahkan, beberapa kali hanya soal mood. Tapi siapapun tidak berhak menghakimi cara yang kupilih. Mereka punya trik dan aku punya trikku sendiri. Silahkan ke sebelah sana dan aku akan ke arah sini.
                Bukankah gampang?
                Oh aku tidak perlu orang-orang menemaniku. Dan aku juga, tidak akan memaksa orang menghiburku. Aku kaku, perilakuku terhadap manusia lain cenderung tidak biasa. Tapi aku tidak akan merangkul, meletakkan sebanyak mungkin orang di bawah lenganku hanya supaya aku merasa lebih baik.
                Aku cuma butuh handphone, kredit, dan kesunyian. Kedamaian.
                Mengingat post terakhirku dinilai begitu remehnya, kurasa bahkan dengan menulis ini semua pengertian tidak akan serta merta muncul. Bisa jadi jurnal ini akan jadi semacam tontonan buat mereka.
                Kegiatan mencurahkan pikiran (dan perasaan) ditanggapi dengan terlalu serius. Padahal sebagai observer, mencatat hal-hal yang terjadi sudah seperti keharusan. Kebetulan saja bentuk yang kupilih adalah narasi. Dan aku cukup bijaksana untuk tidak terpengaruh oleh pendapat-pendapatku sendiri.
                “Makan lagi nanti?”
                “Oh yeaaaaah!”
                Jawaban yang mereka inginkan.
Oh No,
F
 
 
 

Friday, March 9th 2012


 
          Pukul 00.oo. waktu yang jarang—kalau tidak bisa dikatakan aneh—untuk menulis. Aku sedang tidak mood berbasa-basi, jadi aku akan langsung menceritakan ceritanya. Biar aku lihat, hari ini aku melakukan apa saja, ya? Bangun pukul 10.00, tidur lagi—karena sadar tidak ada yang bisa aku lakukan ketika terjaga—sampai pukul 12.00, membaca novel roman-terlalu-tidak-klasik yang dengan senang hati dibuat oleh Sitta Karina (Titanium, satu lagi pembuktiaan bahwa gen X dan gen Y tidak pernah jauh-jauh dari pusatnya—dia dari Bandung dan bekas pegawai Citibank dengan catatan kepenulisan best seller  seabrek. Pernah dengar istilah mingled tidak? Indonesia adalah negara terpayah dalam melakukan ini, karena Indonesia hanya terpusat terpusat dan terpusat di pulau Jawa. Aku tidak membicarakan tentang pemerintahan. Bukan. Melainkan tentang manusia-manusianya dan secara tidak langsung—ya—tingkat kecerdasan mereka, baik itu secara emosional maupun akademik) sampai pukul 4 sore, melamun hingga jarum jam menunjuk ke angka 6, tertidur (lagi) sampai pukul 19.30, mandi, keluar mencari makanan (murah dengan kadar gizi yang rendah adalah kata kuncinya) lalu mendekam di warung internet sampai pukul 22.00, dan di sinilah aku sekarang. Menulis ini sambil berharap Joe Brooks dan Taylor Swift datang untuk meyanyikan lagu Superman versi mereka masing-masing sebagai hadiah ulang tahunku yang terlambat di depan pintu kamar kosku.
                                                                             Pengkhayal tingkat tinggi, F

Wednesday, April 24th 2013



                Dua cerita dari berjuta. Empat halaman dari ribuan.
                Apapun  nominalnya, surat itu sudah kukirim. Selesai. Tidak ada lagi perasaan was-was yang harus dirasakan dalam minggu ini (kecuali soal tugas-tugas kuliah yang merepotkan). Lihat, napasku sudah mulai teratur. Mudah-mudahan pertanda baik. Hari H-nya memang belum tiba, hari puncak itu masih akan datang dua hari lagi. Kalau begitu aku punya dua hari untuk bermalas-malasan. Dan, oh benar, merangkai kata-kata ucapan selamat ulang tahun yang layak.
                Biar aku ceritakan kenapa aku bisa membicarakan ini semua dengan nada santai seperti ini. Aku akan menyetop diriku dari berbicara panjang lebar. Karena.. hentikan! Baiklah, ini semua—kubilang hentikan! Oh ini terlalu sulit! Abaikan saja aku yang seperti ini. Bakalan baik buatmu.
                Ngomong-ngomong Kendall baru saja kubuat terheran-heran dengan kenyataan ini. Aku membicarakan hal yang serupa dengannya, kami memang membicarakan apa saja tapi hal ini bukan hal favorit kami berdua. Dia tidak yakin dengan keputusanku—bukan benar-benar keputusanku sih, maksudku ini terjadi dengan sendirinya, aku bahkan betul-betul kaget pada awalnya—yang seakan mengesampingkan April untuknya. Sekilas memang seperti itu kelihatannya. Tetapi April sudah memutuskan, secara gamblang lewat semua tindakannya belakangan ini. Yang kulakukan cuma menuruti keinginannya, kalau pada kenyataannya itu bukan sungguhan keinginannya, aku tetap tidak bisa memaksakan diriku pada April seperti yang sudah-sudah. Sudah seharusnya aku membiarkannya menjalani apapun keputusannya tanpa harus berusaha membuatnya berubah pikiran dengan sekali lagi menjejali omong kosong tulisanku. Kendall mungkin saja bisa menerimanya, merasa dia beruntung ketimbang sial karena terpilih menjadi penerima tetap suratku, tapi tidak demikian kalau dengan April. April contoh terbaik gen Y yang bisa diberikan lingkungan sosial. Meski terdapat beberapa ketidakcocokan, kuyakinkan kau itu semua murni pilihannya sendiri. April memiliki semacam kecenderungan yang agak jarang untuk menjalani hidup apa adanya, tapi tetap tidak menghilangkan segala hal yang menjadikan dia seperti sekarang. Dia gen Y yang unik dan mendamaikan prasangka apa saja yang kau temukan mengenai gen Y. Sekarang kau tahu ‘kan apa yang kuhadapi? Menolak April hampir-hampir mustahil karena aku, yah, harus kukatakan, addicted to keunikan. Lalu kebutuhan untuk melontarkan diri sejauh-jauhnya dari tempatku berdiri menyebabkan aku mecari di tempat-tempat yang jauh. Cukup jauh untuk mengabaikan orang-orang yang terus berbicara di telingaku tentang bagaimana mekanika kuantum, asas hukum Newton, hidro-karbon, deflasi dan inflasi, kebijakan udang-undang anti militan di Israel, politik luar negeri Cina, hukum perdata, serta puitis-romantis puitis-romantis dan patah hati bergabung menjadi hal paling dominan dalam hidup mereka.
                Hubungan di ujung tandukku dengan April sempat mempengaruhiku juga. Aku butuh melihat orang lain (yang diluar kategori diatas alias unik) dan aku tidak ingin kehilangan April sebelum persiapanku matang. Ya, kalau kau ingin tahu, memang iya, aku tahu April akan pergi dan sudah melakukan persiapan sejak itu. Persiapannya tidak pernah benar-benar matang: April berada di tengah-tengah pintu keluar dan tidak beranjak dari sana. Kemudian Kendall kembali dan mengakui kekeliruannya dengan mengira meninggalkanku adalah keputusan tepat. Nyatanya rasa bersalah menghantuinya, nyatanya dia sekarang mencapai tahap paling menyenangkan dalam hubungan platonis denganku. Aku jadi tidak benar-benar memikirkan April. Dia bisa masuk dan bisa saja keluar, semua keputusan ada ditangannya. Normalnya, aku akan langsung menutup pintu segera setelah seseorang masuk. Tapi April, mempunyai akses penuh dan kuduga akan selalu begitu.
                Baik itu dalam hal hidup atau perasaan.
                Aku tidak sedang berusaha menggantikan orang dengan yang satu. Aku hanya percaya kalau menjadi berarti buat orang lain bisa ditempuh dengan cara melepaskan mereka. Dan arti itu sekalipun, tidak akan berubah karena pemaknaan yang kucapai tidak terbatas pada seberapa sering aku bisa menjumpai mereka lalu meneriakkan sapaan, cerita, dan kata-kata sayang. Dalam sistemku, arti tidak sama dengan kehadiran fisik.
                Ini juga alasan kenapa aku sering melewatkan orang-orang disekitarku. Kehadiran fisik mereka tidak cukup menentramkan, menjadikan orang-orang yang berjarak ribuan mil ini lebih berarti buatku. Dan aku tahu sekarang atau dua tahun lagi atau kapanpun, aku tetap akan melihat ke arah yang sama.
                Namaku Fella, dan aku terhubung secara emosi dengan orang-orang yang berjarak sangat jauh dariku yang belum pernah kutemui.
                Pernah dengar yang lebih aneh? Atau konyol?




Definitely maybe,
F