April dan Jenny
Fella Mutiara
Jenny tidak pernah menyukai pena. Dia selalu bilang itu
karena pena lebih sulit dihapus. Tentu saja. Kalau tidak begitu mengenalnya aku
pasti akan langsung percaya.
“Akhirnya
lulus juga ya,” kata Jenny waktu itu. Nyengir.
Ngomong-ngomong
Jenny bukannya sedang mengejekku, hanya memuji. Yang khas dia sekali yang itu
juga mungkin berarti menyindirku. Paling tidak begitulah pengakuannya setelah
perdebatan panjang berhari-hari kemudian.
Tapi
aku terlalu gembira untuk mempedulikan sindirannya.
“Ya,
ya! Aku juga ga nyangka bakal secepat ini. Abis ini apa lagi ya?”
“Mencari
jodoh?” Jenny otamatis memberi saran.
Aku
menjulurkan lidah. Tawa Jenny langsung meledak dan mau tidak mau aku ikut
tertawa. Menurutnya sih dia memang telah lama melatihnya―tawa yang begitu
persuasif.
Kulihat
Jenny sudah akan mengatakan sesuatu, tetapi urung karena pundaknya ditepuk oleh
seseorang. Aku tidak akan bohong, tepukan itu adalah awal dari semua keadaan
setelahnya.
“Jean
Harold ‘kan? Aku Kendall. Aku suka bukumu!” ujar cewek dengan toga yang sama
seperti yang sedang kupakai saat itu. Yang berbeda kurasa Cuma satu kenyataan
kecil bahwa toga itu membuatnya terlihat cerdas sementara aku seperti artis
cilik yang mempesona.
Jenny―yang
sangat bisa diandalkan dalam situasi seperti ini―langsung saja gugup. Dia tidak
terlalu menyukai fakta bukunya telah menyebabkan dirinya menjadi pusat
perhatian.
Dalam
keadaan biasa, biasanya aku akan langsung tertawa. Meledeknya. Maksudku, siapa
sih yang tidak ingin ditepuk punggungnya oleh seseorang yang tidak dikenal
dengan perasaan kagum? Siapa orang yang tidak
ingin terkenal?
“Eh,
ya, saya juga suka. . . maksudnya, makasih. .”
Normalnya,
aku akan langsung terbahak saat itu juga. Tapi melihat bagaimana cewek bernama
Kendall itu tersenyum, menjabat tangan Jenny―dan aku, lalu melambai sebelum
akhirnya pergi membuatku tertegun selama beberapa milidetik.
“Ayo
kita cepetan pergi dari sini,” Jenny berkata buru-buru.
Tidak
hanya ledekanku, kata-katanya berhasil mengusir kegelisahanku yang sesaat tadi.
“Ya
ampun, baru juga satu orang udah segitu panik. Kalo kayak gini terus kamu bisa
cepet tua,” jawabku sambil memperhatikan kening Jenny yang berkerut. Kentara
sekali cemas kalau-kalau ada orang yang mengenalinya lagi.
Jauh
berhari-hari, bahkan berbulan kemudian, aku baru menyadari bahwa tidak lama
setelah itu Jenny dan Kendall menjadi makin akrab. Yang tidak aku perhatikan,
Jenny terus saja mengembangkan dirinya, melakukan sesuatu yang berguna buat
semua orang.
Yang
tidak aku perhatikan, aku sudah lama berhenti memperhatikannya. Aku larut dalam
duniaku. Dan Jenny, yang tidak aku perhatikan―bahkan pedulikan sampai saat
ini―tidak pernah beranjak dari tempatnya. Di sampingku.
Aku
mulai sebal kenapa Jenny bisa begitu sabar. Akan lebih mudah kalau dia sama
egoisnya seperti aku. Kemudian berbagai pikiran muncul di kepalaku. Ini masa
yang tidak terelakkan, Jenny sendiri yang bilang begitu. Aku perlu waktu. Dia
hanya perlu memaklumiku. Menikmati hidup sebentar tidak berarti aku berhenti
berhubungan dengannya ‘kan?
Aku
sedang memikirkan ini ketika tiba-tiba perhatianku tertuju pada kertas yang
diselipkan di halaman Land Without Fire,
buku buatan Jenny. Jenny bilang, aku boleh membaca buku itu hanya dalam dua
kondisi: saat aku―April―pada akhirnya di vonis menderita Alzhaimer, atau ketika
dia mendapat beasiswa ke Oxford. Aku menganggap ini bahasa lain untuk
mengatakan “tidak pernah”.
Seperti
biasa, otakku tidak bisa mengikuti cara berpikir Jenny. Jadi aku membuka buku
itu―melupakan perasaan iri yang tadi sempat muncul, lalu mengambil kertas yang
terselip di dalamnya. Menurutku Jenny tidak akan keberatan. Dia sedang tidak
ada di sini dan aku bahkan sudah lupa apa yang kumakan tadi siang.
Sebuah
kertas memo berwarna hijau dan amplop putih yang kelihatan mahal.
“Ini
ga mungkin dari pacarnya ‘kan?” ujarku sambil melambaikan amplop itu di udara.
Ah, dia pasti cerita kalau dia sudah―ingin―punya pacar. Selama ini kami selalu
berbagi apapun. Apapun hingga. . .
Mendadak
aku merasa tidak mau membaca memo itu. Selama lima menit penuh aku hanya
memandanginya. Tapi aku bukan Jenny, perasaan-perasaan bodoh dan tidak masuk
akal itu tidak seharusnya kurasakan. Jadi aku menarik napas panjang dan mulai
membacanya.
Anehnya,
ternyata aku benar. Aku memang tidak
ingin membacanya. Aku tidak menangis. Aku tidak menemukan alasan untuk
menangis. Sejak dulu aku tidak semelankolis Jenny yang bisa menggambarkan
perasaannya dengan tepat tanpa harus merasa canggung. Jenny selalu bilang,
sekalipun orang-orang menganggap hati ddemikian luas hingga bisa menampung
begitu banyak perasaan sekaligus, hati tetap sebuah kantong yang bisa robek.
Karenanya, perasaan-perasaan itu harus dikeluarkan. Diungkapkan.
Aku
tidak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku bahkan tidak pernah
peduli. Tapi saat ini aku merasakan dadaku bergemuruh. Karena inilah yang memo
itu katakan.
April,
Jessica
Darling benar, kita memang harus berterimakasih atas apa yang telah kita
masing-masing lakukan bagi satu sama lain.
“Terimakasih
karena telah mengingatkanku akan kebenaran mendalam tentang hubungan kasih sayang,
baik itu romantis maupun platonis; kita saling menyayangi karena
kekurangan-kekurangan kita. Lebih dari itu, kekurangan-kekurangan itulah yang
membentuk diri kita.”
Love,
J
Dan
sebuah surat pernyataan diterima dari Columbia University, New York. Seribu mil
dari Pineville, New Jersey. Rumah Jenny―rumah kami.
Tidak
ada airmata. Tidak ada napas yang tercekat. Bahkan tidak ada lagi dada yang
bergemuruh. Aku, April Rockwood, tidak merasakan apa-apa.
Hidupku
sudah tersedia di sini. Dengan atau tanpa adanya Jenny. Aku kejam? Mungkin.
Memangnya siapa yang tidak?
Bagian
mana dari dunia ini yang tidak kejam?
Jenny gak menyerah soal persahabatan mereka kan?
ReplyDeletekesannya telenovela banget kalo alasannya cuma udah jarang komunikasi :O
mengapa april ada dua? dan siapa (lagi) itu jenny?
ReplyDeleteMirai@ insyaalah engga. ini bukan yang terakhir, saya masih punya dua judul lagi. Sebisa mungkiin saya usahakan ending yang tidak terduga. Makasi udah baca ^^
ReplyDeletebebey@ ini april yang sama bebey, astaga si bebey mah-- jenny itu sama kayak yang kemaren, cuma aku pikir lebih bagus aja kalo ditambahin 'n' gitu bey
Rockwood juga ada di Sherlock aaaaaa \^o^/
ReplyDelete