Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Friday, 27 January 2012

Bagian Kedua


April dan Jenny
Fella Mutiara


                Jenny tidak pernah menyukai pena. Dia selalu bilang itu karena pena lebih sulit dihapus. Tentu saja. Kalau tidak begitu mengenalnya aku pasti akan langsung percaya.
            “Akhirnya lulus juga ya,”  kata Jenny waktu itu. Nyengir.
            Ngomong-ngomong Jenny bukannya sedang mengejekku, hanya memuji. Yang khas dia sekali yang itu juga mungkin berarti menyindirku. Paling tidak begitulah pengakuannya setelah perdebatan panjang berhari-hari kemudian.
            Tapi aku terlalu gembira untuk mempedulikan sindirannya.
            “Ya, ya! Aku juga ga nyangka bakal secepat ini. Abis ini apa lagi ya?”
            “Mencari jodoh?” Jenny otamatis memberi saran.
            Aku menjulurkan lidah. Tawa Jenny langsung meledak dan mau tidak mau aku ikut tertawa. Menurutnya sih dia memang telah lama melatihnya―tawa yang begitu persuasif.
            Kulihat Jenny sudah akan mengatakan sesuatu, tetapi urung karena pundaknya ditepuk oleh seseorang. Aku tidak akan bohong, tepukan itu adalah awal dari semua keadaan setelahnya.
            “Jean Harold ‘kan? Aku Kendall. Aku suka bukumu!” ujar cewek dengan toga yang sama seperti yang sedang kupakai saat itu. Yang berbeda kurasa Cuma satu kenyataan kecil bahwa toga itu membuatnya terlihat cerdas sementara aku seperti artis cilik yang mempesona.
            Jenny―yang sangat bisa diandalkan dalam situasi seperti ini―langsung saja gugup. Dia tidak terlalu menyukai fakta bukunya telah menyebabkan dirinya menjadi pusat perhatian.
            Dalam keadaan biasa, biasanya aku akan langsung tertawa. Meledeknya. Maksudku, siapa sih yang tidak ingin ditepuk punggungnya oleh seseorang yang tidak dikenal dengan perasaan kagum? Siapa orang yang tidak ingin terkenal?
            “Eh, ya, saya juga suka. . . maksudnya, makasih. .”
            Normalnya, aku akan langsung terbahak saat itu juga. Tapi melihat bagaimana cewek bernama Kendall itu tersenyum, menjabat tangan Jenny―dan aku, lalu melambai sebelum akhirnya pergi membuatku tertegun selama beberapa milidetik.
            “Ayo kita cepetan pergi dari sini,” Jenny berkata buru-buru.
            Tidak hanya ledekanku, kata-katanya berhasil mengusir kegelisahanku yang sesaat tadi.
            “Ya ampun, baru juga satu orang udah segitu panik. Kalo kayak gini terus kamu bisa cepet tua,” jawabku sambil memperhatikan kening Jenny yang berkerut. Kentara sekali cemas kalau-kalau ada orang yang mengenalinya lagi.
            Jauh berhari-hari, bahkan berbulan kemudian, aku baru menyadari bahwa tidak lama setelah itu Jenny dan Kendall menjadi makin akrab. Yang tidak aku perhatikan, Jenny terus saja mengembangkan dirinya, melakukan sesuatu yang berguna buat semua orang.
            Yang tidak aku perhatikan, aku sudah lama berhenti memperhatikannya. Aku larut dalam duniaku. Dan Jenny, yang tidak aku perhatikan―bahkan pedulikan sampai saat ini―tidak pernah beranjak dari tempatnya. Di sampingku.
            Aku mulai sebal kenapa Jenny bisa begitu sabar. Akan lebih mudah kalau dia sama egoisnya seperti aku. Kemudian berbagai pikiran muncul di kepalaku. Ini masa yang tidak terelakkan, Jenny sendiri yang bilang begitu. Aku perlu waktu. Dia hanya perlu memaklumiku. Menikmati hidup sebentar tidak berarti aku berhenti berhubungan dengannya ‘kan?
            Aku sedang memikirkan ini ketika tiba-tiba perhatianku tertuju pada kertas yang diselipkan di halaman Land Without Fire, buku buatan Jenny. Jenny bilang, aku boleh membaca buku itu hanya dalam dua kondisi: saat aku―April―pada akhirnya di vonis menderita Alzhaimer, atau ketika dia mendapat beasiswa ke Oxford. Aku menganggap ini bahasa lain untuk mengatakan “tidak pernah”.
            Seperti biasa, otakku tidak bisa mengikuti cara berpikir Jenny. Jadi aku membuka buku itu―melupakan perasaan iri yang tadi sempat muncul, lalu mengambil kertas yang terselip di dalamnya. Menurutku Jenny tidak akan keberatan. Dia sedang tidak ada di sini dan aku bahkan sudah lupa apa yang kumakan tadi siang.
            Sebuah kertas memo berwarna hijau dan amplop putih yang kelihatan mahal.
            “Ini ga mungkin dari pacarnya ‘kan?” ujarku sambil melambaikan amplop itu di udara. Ah, dia pasti cerita kalau dia sudah―ingin―punya pacar. Selama ini kami selalu berbagi apapun. Apapun hingga. . .
            Mendadak aku merasa tidak mau membaca memo itu. Selama lima menit penuh aku hanya memandanginya. Tapi aku bukan Jenny, perasaan-perasaan bodoh dan tidak masuk akal itu tidak seharusnya kurasakan. Jadi aku menarik napas panjang dan mulai membacanya.
            Anehnya, ternyata aku benar. Aku memang tidak ingin membacanya. Aku tidak menangis. Aku tidak menemukan alasan untuk menangis. Sejak dulu aku tidak semelankolis Jenny yang bisa menggambarkan perasaannya dengan tepat tanpa harus merasa canggung. Jenny selalu bilang, sekalipun orang-orang menganggap hati ddemikian luas hingga bisa menampung begitu banyak perasaan sekaligus, hati tetap sebuah kantong yang bisa robek. Karenanya, perasaan-perasaan itu harus dikeluarkan. Diungkapkan.
            Aku tidak pernah tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Aku bahkan tidak pernah peduli. Tapi saat ini aku merasakan dadaku bergemuruh. Karena inilah yang memo itu katakan.



            April,
          Jessica Darling benar, kita memang harus berterimakasih atas apa yang telah kita masing-masing lakukan bagi satu sama lain.
          “Terimakasih karena telah mengingatkanku akan kebenaran mendalam tentang hubungan kasih sayang, baik itu romantis maupun platonis; kita saling menyayangi karena kekurangan-kekurangan kita. Lebih dari itu, kekurangan-kekurangan itulah yang membentuk diri kita.”
                                                                                                 
                                                                                                  Love,
                                                                                                  J


            Dan sebuah surat pernyataan diterima dari Columbia University, New York. Seribu mil dari Pineville, New Jersey. Rumah Jenny―rumah kami.
            Tidak ada airmata. Tidak ada napas yang tercekat. Bahkan tidak ada lagi dada yang bergemuruh. Aku, April Rockwood, tidak merasakan apa-apa.
            Hidupku sudah tersedia di sini. Dengan atau tanpa adanya Jenny. Aku kejam? Mungkin. Memangnya siapa yang tidak?
            Bagian mana dari dunia ini yang tidak kejam?

           

4 comments:

  1. Jenny gak menyerah soal persahabatan mereka kan?
    kesannya telenovela banget kalo alasannya cuma udah jarang komunikasi :O

    ReplyDelete
  2. mengapa april ada dua? dan siapa (lagi) itu jenny?

    ReplyDelete
  3. Mirai@ insyaalah engga. ini bukan yang terakhir, saya masih punya dua judul lagi. Sebisa mungkiin saya usahakan ending yang tidak terduga. Makasi udah baca ^^

    bebey@ ini april yang sama bebey, astaga si bebey mah-- jenny itu sama kayak yang kemaren, cuma aku pikir lebih bagus aja kalo ditambahin 'n' gitu bey

    ReplyDelete
  4. Rockwood juga ada di Sherlock aaaaaa \^o^/

    ReplyDelete