ONE
Aku memang secara universal mengakui bahwa
kelebihan utamaku terletak pada seberapa sering aku membuat lain bingung dengan
apa yang aku tuliskan.
Aku sendiri sampai terheran-heran dibuatnya. Memangnya apa sih
yang aku tulis? Kamus?
Yah, tapi
bisa dibilang aku sendiri juga mengambil keuntungan dari ketidaktahuan mereka
tentang kalimat majemuk bertingkat dan kegemaran mereka membaca novel
terjemahan yang relatif. Aku bahkan sangat menyukai keuntungannya!
Kalian tahu sendirilah, sangat susah menjaga berkasmu bahkan
yang sudah berbentuk elektonik Kalau sudah begini sih, aku jadi tidak perlu
repot-repot memasang sandi pengaman. (Hahhahaha)
Baiklah,
mungkin aku memang menilai diriku terlalu tinggi. Aku pontang-panting dalam
hampir setengah umur yang kumiliki hanya untuk satu hal; MEMBUAT ORANG LAIN
MENGERTI.
Satu kata,
menyedihkan.
Entah sudah
berapa tanda telah aku siratkan, atau sudah berapa pesan yang telah aku katakan,
tapi semua petunjuk itu nyaris selalu berakhir dengan kepastian yang hampir
sama dengan sebuah hirarki; AKU.
Hanya ada aku
dan tampaknya akan terus begitu.
Aku pernah
mendengar seorang pelaut di televisi berkata, “Kalau kau ingin hasilnya benar
maka kau harus melakukannya sendiri.”
Bijaksana memang, tapi benar-benar tidak perlu─sungguh. Maksudku, siapa sih yang berani
menjamin kau sedang bisa melakukan
pekerjaan itu sendiri sepanjang waktu? Lagipula siapa pelaut yang sok tahu itu?
Tendang dia kalau dia bukan Orlando Bloom!
Tidak ada orang yang kelewat bodoh yang dengan seenaknya
memutuskan bahwa semua yang dia butuhkan adalah dirinya sendiri Kalaupun ada,
hal terkeren yang bisa kita simpulkan dari itu hanyalah orang itu lebih bodoh
dari keledai, itu pasti.
Lalu ─sekalipun tidak bodoh, siapa lagi aku ini
hingga bisa bahkan memutuskan sesuatu sebesar itu? Pertanyaan bodoh memang,
tapi aku dengan senang hati menganggapnya perlu mengingat aku membutuhkan
sesuatu yang bisa kulakukan sebagai kompensasi atas ketidakberhasilanku
mencapai hal-hal yang aku inginkan.
Jadi dengan tidak menjadi siapa-siapa, kurasa masuk akal jika
hal yang kulakukan selanjutnya adalah bersikap layaknya orang pada umumnya.
Meskipun kenyataan bahwa dengan begitu aku akan kehilangan sebagian dari jati
diri yang telah aku bangun bertahun-tahun hanya untuk hal yang demikian remeh
dan temeh terus mengganggu sepanjang waktu, aku tetap saja tahu aku harus
melakukannya.
Seharusnya
aku memakai kruk. Mungkin dengan begitu remeh tidak akan terdengar asing
bagiku.
No comments:
Post a Comment