Sebuah
kisah oleh Fella Mutiara,
One
Day
Empat puluh lima lawan empat puluh
tujuh.
Satu two-point shoot akan memastikan kemenangan, foul lawan lebih banyak dibandingkan semua pertandingan hari ini
digabungkan menjadi satu. Waktu yang tersisa hanya tinggal sepuluh detik.
Seseorang harus segera bertindak.
Hei, aku ‘kan seseorang!
Jantungku berdegup memikirkannya.
Ya, kenapa bukan aku yang menjadi pahlawan tim hari ini? Garret sudah menjadi
idola terlalu lama. Napasku seketika memburu ketika Josh memberikan passing sempurna kepadaku. Selama
sepersekian detik aku berpikir untuk mengoper bolanya pada Garret yang sudah
berada di kotak three second
(bagaimana dia bisa sudah ada disana, demi Tuhan?), tetapi ini adalah masaku.
Tidak salah lagi. Lagipula posisi Garret tidak aman. Center lawan yang dua kali tingginya setengah langkah di depannya.
Karena itulah aku melompat setinggi mungkin dan melakukan jump shoot terbaikku. Maker
itu bahkan tidak akan sempat mengejar bolanya, dia tidak menduga aku yang akan
menembak. Ya, taktik terbaik adalah yang tidak pernah dilakukan. Aku bisa
mendegar Josh berteriak-teriak ketika aku sedang di udara. Melihat Garret
melongo tidak percaya dan coach Kim
seperti sedang terdampar di Mars.
Kukira mereka harus membiasakan diri
dengan kemenangan yang berasal dari diriku.
Aku mendarat dan bersiap memamerkan
senyum idola.
Nyatanya air ball dan aku dimarahi habis-habisan oleh coach Kim di depan seribu dua ratus orang.
Aku membesar-besarkan soal jumlah
penontonnya, tapi dude, ocehan coach Kim lebih parah dari omelan
ibu-ibu hamil yang sedang senewen.
Aku pulang dengan kepala pening dan
berharap mukaku akan berubah menjadi Tom Cruise keesokan paginya. Seperti Joe
Brooks juga boleh. Atau Leonardo di Caprio. Baiklah, baiklah, Justin Bieber.
Senang?
Tapi aku tidak seberuntung itu.
Bahkan lebih tidak beruntung lagi: aku sepertinya telah menghilangkan kunci
kamarku. Stuart tidak sedang berada di sini dan itu berarti sial.
Mungkin dia sedang bersama F-Unit
lainnya di tengah program mahasiswa teknik yang melibatkan dinamo dan integral.
Hahaha. Ini caraku untuk membuat
kesialanku terlihat lucu.
Wallach adalah asrama tertua di
Pusat Tempat Tinggal dan Belajar Universitas Columbia. Penurunan dua derajat
dari kemewahan Funland yang modern (ber-AC!). Sebagai asrama pertama, ukurannya
hanya setengah Hartley-Wallach yang berada di tengah-tengah Pusat Tempat
Tinggal dan Belajar.
Kekolotan Wallach bisa dengan mudahnya
kumaafkan karena kehadiran piano klasik besar yang mengkilat di ruang duduk
berlangit-langit tinggi dan perapian marmer.
Tapi kali ini aku berakhir di bangku
taman dengan penerangan rendah. Ruang duduk itu tidak akan berarti apa-apa
buatku kalau isinya hanya anak-anak mabuk yang, di bawah pengaruh alkohol,
berlomba menjadi orang paling lucu dan pintar di ruangan.
Aku melapisi seragam basketku dengan
T-shirt hitam polos. Sekarang memang masih musim panas, tapi udara sering
menipu terlebih ketika kau sedang berada di luar ruangan. Walaupun ini
samasekali bukan kostum terbaikku untuk berkemah di alam terbuka.
Begini, aku bukan sok suci, aku
pernah kok beberapa kali minum beberapa botol bir (walaupun aku tidak pernah
suka rasanya). Maksudku, ini ‘kan Amerika. Minum alkohol sudah seperti
kebutuhan dan dianggap sama normalnya dengan air. Dalam kehidupan kampus yang
penuh seminar-seminar dan pertemuan (baca: pesta), kau tidak mungkin tidak minum. Biasanya aku akan memegang
kaleng dan gelas yang sama dengan isi yang tidak berkurang sampai acaranya
selesai. Mungkin saja aku bisa menumpang di kamar seseorang, hanya untuk satu
malam. Tetapi aku sedang tidak mood menghadapi orang dan pertanyaan-pertanyaan
tentang pertandingannya. Lagipula bagaimana aku bisa memainkan pianonya tanpa
merasa terganggu kalau bertemu orang saja saat ini sudah sangat mengganggu?
Jadi aku menepuk-nepuk ransel di
bawah kepala dan memposisikan diriku yang cukup raksasa untuk ukuran pemain
basket gagal: enam kaki tanpa menghitung rambut hitam tebal yang melawan
genetika orangtuaku yang keduanya pirang alami. Aku jarang sekali menyisirnya
dan jadilah mereka berkeriapan ke mana-mana termasuk di atas mataku. Sebagai
bentuk pemberontakan—yang payah, aku membiarkannya memanjang lalu memberikan sedikit
sentuhan layer biru sehingga selalu
menimbulkan kesan baru dikeramas yang menguntungkan.
Aku sedang bersiap-siap tidur ketika
aku mendengarnya.
“Mereka bilang kau baru saja kalah
telak,” kata suara mengantuk seorang cewek di bangku sebelah.
Aku memang sedang sangat sial.
“Oh ya? Apa mereka juga bilang tidak
baik mengganggu orang yang baru saja kalah telak? Kurasa tidak, karena itulah
kau disini mengetesnya,” kataku dengan kejijikan yang kusengaja tanpa membuka
mata.
“Tidak, mereka memang melewatkan
bagian yang itu,” jawabnya sambil tertawa ringan. Aku bisa mendengar dia
tertawa dan dari suara tawanya, aku bisa membayangkan dia seorang cewek teknik
seksi yang menurut Stuart tergila-gila padaku. Mungkin aku tidak sesial itu.
Aku menghadapi seorang cewek
berkacamata, berpotongan rambut pendek dengan riap yang bahkan lebih parah dari
aku, dia kelihatannya tidak pernah menyisirnya semacam selamanya, dengan celana
jeans hitam pendek dan sweater biru yang agak kebesaran untuk tubuhnya, dan
sepatu roda kulit berwarna biru di kakinya yang sekarang dia lipat ke arah
dada. Pergelangan tangannya dipenuhi benda berwarna hitam: kiri jam tangan
digital sementara kanan berisikan mungkin sekitar dua puluh gelang karet atau
lebih.
Dia seperti Avril Lavigne yang
mendadak menjadi mahasiswi teknik dan menyukai blueberry.
“Dua puluh dua,” katanya.
“Maaf?”
Dia menjawab sambil melepaskan earphone yang menancap di telinganya
(aku lupa memperhatikan yang satu itu saking sibuknya terheran-heran). “Jumlah
gelang yang kupakai, semuanya berjumlah dua puluh dua,” jawabnya seakan-akan
penampilannya belum cukup aneh.
Dia lalu menatap lurus ke arahku dan
saat itulah aku menyadari matanya berwarna hijau terang yang bahkan terlihat di
tempat berpenerangan minim seperti ini. Bahkan setelah dilihat lagi, kacamata
justru membuatnya terlihat menarik, dan rambut pendek berantakannya itu malah
semakin menegaskan perbedaannya.
“Oh, mahasiswa psikologi rupanya,”
akhirnya aku tersadar dengan siapa aku berurusan. Dia mahsiswa tingkat dua sama
sepertiku, tapi ada beberapa hal yang membuatnya menjadi dikenal seantero
kampus. Seperti halnya aku, kami berdua nyaris tidak terlihat di sini, Di
tempat ini, kau harus bisa mengandalkan otak dan tekad agar bisa berhasil dan
dikenal. Kami tidak benar-benar punya keduanya, hanya keberuntungan dan sedikit
pemikiran intelektual-lah yang menyebabkan dia berakhir di psikologi dan aku di
jurusan filsafat. Semuanya ilmu sosial dan seperti yang bisa kau lihat, kamu
berdua bukan orang yang terlalu sosial.
Atau setidaknya aku, dia sendiri masih punya kemampuan akting yang lumayan
membuatnya dikenal di antara dosen dan mahasiswa lainnya. Akting karena
siapapun yang berada di bangku taman sendirian alih-alih club atau pertemuan di akhir pekan (bermain sepatu roda pula!)
adalah pecundang.
“Annie Danner,” kataku menyebut
namanya.
“Quil Walker,” katanya menyebut
namaku.
Kami berdua lantas tertawa-tawa
melihat bagaimana nasib mempertemukan dua orang yang sama tapi berbeda seperti
sekarang. Aku bahkan sudah lupa kapan aku mulai membuka mata dan kembali duduk.
“Kau bekerja?” tanyanya tiba-tiba.
Dia bahkan tidak benar-benar memandangku, dia sedang mengencangkan ikatan
sepatu rodanya.
“Eh, iya. Aku berusaha tidak menjadi
tunawisma musim ini dengan bekerja di sebuah majalah,” jawabku sambil
menggaruk-garuk tengkuk yang tidak gatal.
Dia mengeluarkan suara tawa yang
seperti mengejek.
“Ada yang lucu?” Aku sedikit
tersinggung. Sesuatu pada diri cewek ini membuatku meladeninya. Orang-orang
psikologi memang mahir mengaduk-aduk emosi orang.
“Aku yakin magang adalah sebutan yang lebih tepat, karena kau jelas-jelas
tidak dibayar.”
Aku membuka dan menutup mulutku
seperti ikan mas kehabisan air.
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?”
geramku.
Annie tidak menjawab pertanyaanku
dan sebagai gantinya, duduk di sebelahku dengan satu luncuran singkat dari
sepatu rodanya.
“Quil,” katanya sambil memejamkan
mata. “Kau sedang berusaha menaikkan levelmu ke tingkat orang-orang yang harus
mengambil lebih dari dua pekerjaan agar bisa membayar kuliah dan kebutuhan
makan sehari-hari disini, bagaimana mungkin itu tidak lucu?”
Annie tidak mengatakan ini untuk
membuatku merasa malu atau apa, dia hanya mengatakan kebenaranya. Tetapi begitu
diucapkan—terlebih olehnya—aku jadi tidak merasa lebih baik dari kutu yang
pekerjaannya hanya menghisap darah. Darah orangtuaku.
“Kau benar. Orangtuaku membayariku
segalanya. Lalu kenapa?” balasku keras kepala. “Apa itu membuatku tidak lebih
baik dari seorang yatim paitu yang terpaksa harus hidup dari uang beasiswa, dan
seperti katamu tadi, dari hasil kerja berbulan-bulan tiga pekerjaan? Belas
kasihan orang lain? Atau dari—,”
Annie buru-buru memotongku, “Hei,
tenang dong. Kau tidak perlu seemosional itu.”
Aku mengeluarkan napas dari
hidungku, “Kenapa?”
“Karena semua yang kau ucapkan tadi
adalah hidupku,” jawab Annie lembut. Dia memandang ke langit di atas di
sampingku.
Keheningan total dihasilkan oleh
ketololanku yang tidak berperasaan. Annie juga tidak tampak akan memecahnya.
“Maaf,” ujarku.
“Tidak apa-apa. Aku sudah bisa
mengatasinya,”
Hening lagi. Ini lebih baik dari
kata-kata klise yang akan merusak segalanya.
“Jadi,” katanya sambil memalingkan
wajah ke arahku. “Kau suka Taylor Swift?”
Aku mengerang. “Apa kau selalu
seperti ini, Annie?”
Dia tersenyum, “Ya. Ini mekanisme
pribadi, Quil. Terjadi dengan sendirinya.”
“Seberapa pribadi?” Aku menggeser
tubuhku ke arahnya. Dengan sengaja mendekatkan mukaku ke mukanya yang ternyata
mulus tanpa bintik-bintik dan jerawat seperti belum puber. Aku ingin tahu
bagaimana orang sepertinya akan bereaksi.
Hanya untuk dikecewakan. Mengedipkan
mata pun bahkan dia tidak.
Aku bersungut-sungut sementara Annie
terkekeh-kekeh melihat ketololanku.
“Itu mungkin akan berhasil buat
orang lain,” katanya menghiburku.
“Tentu, tentu,” jawabku sarkastis.
Baru saja dibicarakan, angin dingin
jahat melintas di antara kami dan itu, jujur saja, menjadi sedikit masalah.
Pertama, aku laki-laki, sebagai laki-laki aku diharapkan melakukan sesuatu
mengenai cewek-yang-kedinginan. Kedua, aku tidak sedang memakai pakaian yang
memungkinkanku melepas lalu menyelimutinya, aku hanya memakai T-shirt usang.
Ketiga, ini yang paling penting, Annie, seperti yang semua tindakan dan
ucapannya jelaskan selama sepuluh menit belakangan, jelas-jelas bukan tipe
cewek kebanyakan yang mau begitu saja mengharapkan hal semacam itu.
“Oh santai sajalah. Pakaianku bahkan
lebih tebal darimu,” Annie berkata blak-blakan seperti yang hanya bisa
dilakukan olehnya.
“Sudah selesai membaca wajahku?”
Annie nyengir. Dari dalam tas
sandangnya mengeluarkan sebuah kain flanel lalu mulai membersihkan kacamatanya
dengan itu.
“Jadi,” kataku yang dengan sempurna
menirukan suaranya sendiri. “Ada apa dengan Taylor Swift?”
“Dia berbeda,” jawab Annie.
“Dia country bukan? Dan yang dibicarakan sepanjang waktu adalah kisah
cintanya yang hampir selalu berakhir tragis, berbeda jika dibandingkan dengan
siapa? Rihanna?”
Di titik ini, aku sudah bersiap
mendengar pembelaannya hingga aku bahkan tidak perlu mendengar Annie
mengatakannya lagi. Tapi Annie hanya menjawab dengan jawaban singkat seperti
menyerah.
“Kau benar.”
“Eh...” Aku tidak yakin harus bilang
apa.
Aku menontonnya memasang kembali
kacamatanya. “Mungkin aku hanya iri,” katanya pelan. “Karena dia punya
segalanya tapi masih bisa menjelaskan semuanya dengan baik. Cintanya kepada
pacar-pacarnya, tidak peduli itu nyata atau tidak, berharga atau sampah, telah
membawanya ke titik dimana dia bisa mengubah cerita yang biasa menjadi sebuah
kisah. Itu cinta yang didambakan semua orang, Quil.”
“Jadi aku menyimpulkan,” aku berkata
hati-hati. “Bahwa kau menganggap orang yang tidak punya apa-apalah yang mampu
memahami lebih baik?”
Annie melepas kacamatanya kemudian
memandang lurus-lurus ke mataku. Membuatku merasa seperti tengah berada di
padang rumput yang luas. Padang rumput yang akan dengan senang hati ditinggali
oleh si penggerutu ini.
“Luka, Quil. Luka membantumu melihat
dengan perspektif yang berbeda.” Annie mengatakan ini sambil menelusuri poniku
dengan jarinya.
Tangannya tidak terasa asing.
“Bahkan kau sekalipun tidak bisa
terus berpura-pura tegar.”
“Everybody
hurts, everybody cries,” jawabku masam. REM.
“Everybody,”
Annie setuju.
Aku menatap matanya dan berusaha
mencari di antara banyaknya emosi yang tertera di sana. Dia memiliki sesuatu
yang selama ini aku cari seumur hidupku. Andai saja aku bisa menjelaskan, tapi
pembendaharaan kataku tidak pernah sampai pada sesuatu yang begitu dalam.
Begitu rapuh.
“Benarkah kita tidak pernah bertemu
di kehidupan sebelumnya?” tanyaku, sinting oleh derasnya perasaan.
Annie tertawa tetapi tidak
melepaskan pandangannya.
“Filsafat mengizinkanmu bertingkah
konyol seperti ini, ya?”
“Ya. Kau mau mempertimbangkan untuk
pindah?” balasku, cepat kali ini.
Annie berpura-pura mengeryitkan
wajahnya. “Bersama Plato, Jung, dan Freud? Bunuh saja aku.”
Kami berdua tergelak. Seingatku,
malam belum pernah sehangat ini.
Tiba-tiba Annie menarik dirinya dari
pandanganku. Dia terlalu pintar untuk menunjukkan emosi apapun.
“Aku harus pergi.”
“Kemana?’ Aku mengerjap-ngerjap
bingung. Apa yang sudah kukatakan?
“Entahlah,” katanya. “Tapi aku tidak
seharusnya berada disini.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
“Tidak. Dengar, aku tidak sedang
memaksamu untuk melakukan apapun, oke? Hanya saja, aku tidak mengerti...”
Annie melayangkan kecupan singkat di
pipiku sambil membisikkan kata-kata tidak masuk akal lainnya.
“Jaga dirimu baik-baik.”
Dan sebelum aku sempat mengatakan
apa-apa dia sudah pergi.
Mendadak dunia terasa berputar. Tapi
aku juga marah. Emosi yang meluap-luap ini justru membuat kepalaku semakin
sakit. Aku menendang dan meninju. Apa-apaan itu tadi? Kepalaku terasa panas,
aku harus berbaring. Kenapa Annie bersikap begitu menyebalkan? Sialan aku tidak
bisa melihat! Angin terasa seperti pisau di kulitku, aku harus masuk ke dalam.
Keparat! Untuk apa dia datang dan membuka semua lukaku kalau dia hanya akan
meninggalkanku seperti ini?!
Aku tiba di ruang duduk Wallach dan
menangkap sepotong-sepotong teriakan. Mereka bilang aku basah kuyup. Mereka
menyuruhku duduk, seseorang meneriaki orang lain untuk mengambilkanku air.
Sayangnya aku sudah ambruk dan menyongsong kegelapan setelahnya.
Aku terbangun keesokan paginya
dengan kepala berdenyut-denyut. Ugh, aku tidak ingat pernah punya migrain. Seseorang sudah mengganti pakaianku
dengan celana khaki dan kaos biru
bertuliskan Me, yes, Me. Aku cukup
sadar untuk tahu aku sedang berada di kamarku. Mungkin seseorang sudah
memanggil Penanggung Jawab Asrama dan membukakan pintunya untukku. Aku tidak
peduli.
Kepala Natalie menyembul dari pintu.
Diikuti oleh Stuart, Russ dan Lindsay. Mereka bertanya apa aku sudah merasa
lebih baik. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Mereka bertanya apa yang
terjadi. Aku menyuruh mereka tutup mulut dan urus urusan mereka sendiri. Mereka
lalu membicarakan tentang sebuah kecelakaan.
“Apa?” Aku bertanya meskipun aku
sudah mendengarnya dengan jelas.
“Seorang mahasiswi kita tewas karena
kecelakaan kemarin. Mengerikan sekali,” celoteh Stuart.
“Kudengar kejadiannya pagi hari
ketika dia sedang bersiap-siap pergi ke tempat kerja,” kata Natalie.
Aku melihat sebuah lipatan kertas di
saku tasku yang berada di sebelah Russ yang asyik bercerita.
“Mereka bilang hidupnya sulit.”
Aku mengambilnya lalu membacanya
dengan hati-hati. Bertanggalkan 15 November, dua hari yang lalu.
“Kalau tidak salah namanya...”
“Annie Danner,” kataku menyebut
namanya.
Mereka semua berpaling menatapku
yang sudah lupa bagaimana caranya bernapas. Tanganku bergetar hebat menggenggam
suratnya. Airmata tercekat di sudut-sudut mataku.
Langit runtuh di sekitarku dan
seluruh dunia ikut tenggelam.
Friday
November 15th 2007
Dear Quil,
Ototku
masih sekaku dulu. Hatiku juga. Mungkin itulah kenapa aku tidak pernah benar-benar
suka pada olahraga maupun hubungan. Aku seringnya melakukan keduanya karena
menyenangkan menemukan sesuatu yang bisa kau lakukan di dunia ini. Diluar dari
kewajibanku beribadah kepadaNYA, aku benar-benar menikmati tiap sensasi yang
diberikan dua hal tersebut.
Haaaaaahh!
Dunia yang
hebat bukan? Mempermainkan kita seperti ini? Mungkin saja ini tidak sampai soal
dunia: hanya aku dan asumsi-asumsi tololku. Tapi mereka semua berkumpul menjadi
semacam senjata pemusnah massal akhir-akhir ini. Aku menyebutnya kepekaan yang
(sialnya) berlebihan. Tidak membunuh apapun selain sistem yang berwujud aku.
Tapi hidup terus berlanjut dan mau tidak mau aku ikut terseret. Itu ombak yang
cukup besar, asal kau tahu saja.
Rupanya
bukan cuma itu yang diseret oleh ombaknya.
Dia—dengan
perlahan dan sabar—menarikmu. Dirimu yang nampak luar maupun yang didalam.
Mengatakan padaku untuk menyerah terhadapmu. Berkata bahwa sudah waktunya.
Katakan
padaku, Quil tersayang, apalagi yang bisa aku lakukan untuk menutupi tiap celah
dalam hidupku yang ditinggalkan luka dan kepergian? Atau kehampaan?
Love,
Annie
No comments:
Post a Comment