Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Sunday, 11 March 2012

Bagian Keempat

kkk
Yang keempat. Satu lagi dan semuanya akan selesai. Tidak tahu apakah hariku yang buruk akan mempengaruhi cerpen ini atau tidak, yang jelas inilah dia:





Kendall dan Jenny
oleh Fella Mutiara



stop this train. I wanna get off and go home again
I can’t take the speed, it’s moving in. I know I can’t but honestly,
would someone stop this train

          Aku suka John Mayer. Tapi besok ulangan ekonomi. Jadi aku berusaha mengabaikan lagunya sembari belajar, dan gagal. Aku menangis seperti orang sedih sungguhan. Yah, sebenarnya aku memang  bisa dikatagorikan sedih waktu itu. Lagu ini menggambarkan Jenny dengan sangat tepat. Entah kenapa teriakan minta tolongnya terdengar lebih jelas saat itu.
          “ Baik-baik saja, Kendall? “ tanya Jenny. Tas LA LAKERS—yang dia beli seharga 10 dollar atas bujukanku—miliknya tersampir di pundak. Dia kelihatan keren memakainya, tidak seperti aku.
          “ Yup, “ jawabku singkat sambil mengaduk-aduk tas selempang bututku. Kacamata, di mana aku meletakkan kacamata.
          “ Yah, syukurlah kalau begitu. “
          Tunggu dulu, syukurlah ? Apa-apaan itu ?! Tentu saja aku baik-baik saja! Aku memang tampak seperti bocah jika berdiri di sampngnya, tapi—HALO!—aku juga kapten basket di sekolahku! Rekorku pun cukup bersih, hanya satu benjolan di dahi dan satu kacamata yang patah. Lagipula cewek-cewek girlie  itu sangat membantu. Oh ya, membantu sekali. Tim kami tidak bergerak dari dasar.
          “ Kurasa aku akan tahu kalau aku tidak baik-baik saja, tapi terimakasih sudah memperhatikan—karena bermain basket selama 20 menit itu membunuh sekali, “ jawabku defensif.
          Jenny terbelakak, “ kau ap….? Astaga, kau ini sungguh-sungguh ya? “
          Dia tertawa terbahak-bahak. Lalu menepuk-nepuk kepalaku. Oh bagus, sekarang akulah anak kecilnya. Aku merasa sangat konyol.
          Aku memberitahukan hal ini kepada Jenny sambil menontonnya melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal.
          “ Kau tahu, “ katanya. “ makin sedikit yang kau rasakan, makin baik. “ Jenny mengatakan ini dengan begitu pelan hingga aku nyaris mengira dia sedang berbisik.
          Aku berpikir Jenny sedang berusaha mengusiliku, tapi ketika aku melirik untuk melihat wajahnya, pikiran itu langsung lenyap. Ekspresi itu baru. Ekspresi yang tidak pernah kulihat ada di wajahnya. Bibirnya tersenyum, tapi senyum itu seakan tidak bisa mencapai matanya. Ada hal lain yang telah lebih dulu ada di sana.
          “ Karena kau berlari lebih lambat dari siput—dan aku jadi bertanya-tanya, apa 20 menit akan merobohkanmu atau bahkan membuatku perlu memanggil Aero Boy—untuk memberikan napas buatan, “ Jenny menjelaskan panjang lebar dengan gaya acuh tak acuh.
          Usaha yang bagus. Tapi walau bagaimanapun aku sedikit terpancing. Aku mencomot sejumput tanaman berbunga di sampingku.
          Aku lalu mengacungkannya ke depan wajah Jenny, “ apakah pernah ada seseorang yang melemparimu dengan bunga, Jenny? Aku bertanya dengan nada yang sama sekali tidak manis, yang tidak berguna untuk mempertajam ancamanku.
          Ini malah membuatnya tertawa lebih kencang. Hilang sudah ekspresi kegetiran yang sempat muncul di wajahnya tadi.
          “ Bisa-bisanya kau tertawa ! “ seruku dengan nada terhina yang dibuat-buat. “ Wolverine, TMNT, Ultramen, dan Timmy Turner tidak akan berdiam diri melihat penghinaan ini ! “
          Jenny tertawa semakin keras, “ Oh, ayolah, “ katanya dengan nada meremehkan yang membuat permainan ini semakin menarik.
          “ Kau akan menerima akibatnya, manusia, “ balasku sambil memasang kuda-kuda ala Bruce Lee.
          Jenny hanya memutar bola matanya dan dengan sengaja memasang tampang bosan. Lalu menjulurkan lidahnya. Sisa sore itu kemudian dihabiskan dengan teriakan dan  kejar-kejaran seru.

***
          Buku Jenny terbit di California hari ini. Untuk cetakan  yng ketiga. Boooo luarbiasa hoooo. Aku tidak bisa tidak angkat topi buat Jenny soal  ini. Dia memang luarbiasa. Ini bukan hanya mengenai bukunya, namun juga mengenai integritasnya untuk tetap menggunakan kata-kata—bukan tindakan—dalam mencoba mambenahi yang salah di dunia ini. Jenny mendapat ejekan tidak kurang dari saru lusin setiap hari karena—catat ini—terlihat flamboyan  dengan semua hal yang dia tulis di bukunya. Tapi dia tidak berubah demi menyenangkan semua orang dan tetap melakukan hal yang dia lakukan sekarang sambil mempercayai tujuannya.
          Rasa kagumku terhadap Jenny belum hilang sampai dia mulai mengalihkan kelebihan muatan pikirannya dengan menulis di blog. Sebenarnya, bukan tulisannya yang menjadi masalah. Jenny-lah masalahku. Jenny selalu bersikeras bahwa sampai mati pun dia tidak akan pernah menganggapku sebagai sahabatnya, dia selalu beralasan karena dia telah menyediakan tempat untukku sebagai adiknya. Dan ini menjadi lebih sulit karena persis  itulah hal yang dilakukan Jenny.
          Sementara aku, terus-terusan kesulitan untuk melihat hubungan ini dengan cara yang sama, Aku tidak yakin bagaimana hubungan saudara bisa mengalir lewat hal lain selain darah, sekalipun aku sudah mengatakan bahwa aku talah menunggu sangat lama untuk mempunyai seorang kakak. Sepenuhnya Jenny hanya mencoba memenuhi janjinya. Untuk terus mencoba hadir di hidupku. Yang membuaku merasa tidak patut adalah, Jenny hadir justru di saat aku tidak bisa memberikan hal yang sama sebagai balasannya.
          Aku seorang cewek normal—dia tidak bisa menyalahkanku—dan ini semua membuatku bertanya-tanya, apa sih yang sebenarnya sedang dia lakukan kepadaku? Kenapa dia begitu ngotot?  Maksudku, dari semua orang di dunia, kenapa dia memilihku untuk dijadikan objek kasih sayang platonis-nya? Apa yang dia lihat dariku?
          Ini semua terlalu aneh buatku. Jenny memang mengatakan sesuatu tentang bahwa akulah orang yang paling mungkin  mengerti dikarenakan pikiranku seperti semacam, berada di frekuensi yang sama dengannya. Terkutuklah aku kalau maksudnya aku adalah orang yang pintar. Dia menilaiku terlalu tinggi, tuh aku sudah mengatakannya.
          Buktinya saja aku tidak bisa mengerti ketika dia mengatakan ini semua, lalu justru memilih mundur dan—ya, benar—meninggalkannya. Aku bahkan berhasil mengabaikan apapun perasaannya dan melanjutkan hidupku. Aku punya hidup sendiri yang menuggu untuk dijalani. Begitulah.
          Dari semuanya, aku benar-benar berharap bisa menanyakan ini kepada Jenny:
Apa sih yang menurutmu bisa kau lakukan dari jarak seribu mil?
          Dan jawaban Jenny seakan bergema di telingaku,
          “ Mungkin kau menganggapnya tidak ada. Tapi Kendall, kau bahkan tidak tahu setengahnya, “
          Dengan pencerahan, pemahaman, dan pengertian yang tidak akan pernah bisa masuk ke sistemku.
          Aku, nyatanya, terlalu tersesat oleh dinamika hubungan kami plus kehidupan baruku yang—kupikir—ingin kuraih sebagai remaja hingga melewatkan satu-satunya kenyataan penting dalam ucapannya—inti dari semua pelajaran hidup ini:
bahwa dia mengatakan kalimat itu dengan senyum tulus yang mengalahkan hangatnya matahari musim semi.
          Kali ini, mencapai matanya. Hatinya.
         
          Lagu Stop This Train  milik John Mayer mengalun sebagai latar seakan telah menentukan pihak.
          “ Keretanya. Tidak. Akan. Berhenti, “ ujarku, mengeja setiap katanya.
Keras. Tegas. Tapi aku khawatir itu tidak cukup, bahkan untuk diriku sendiri.


                                                                                      Kendall dan Jenny,
                                                                                        March 8th 2012



. . . . to be continued to April, Kendall, Jenny

2 comments: