Apa yang membuatmu hidup dan mampu menghembuskan napas
hingga saat ini? Selain bahwa Tuhan menginginkan begitu dan bukan sebaliknya,
apalagi yang bisa membuatmu yakin bahwa sesuatu sedang menunggumu seperti yang
telah dijanjikan?
Tidak perlu diragukan, pikiran
manusia pastilah hal terumit yang pernah ada. Karenanya aku tidak akan mencoba
menambah kerumitan itu dengan menanyakan pertanyaan yang mungkin akan
kutanyakan kalau aku sungguhan jalang. Aku sendiri jadi sedikit penasaran—ya, sedikit, karena aku tidak akan pergi ke
mana-mana setelah ini dalam waktu yang cukup lama, seperti kebanyakan para
pemberani yang masih bisa menegakkan kepala di saat semua hal bergelimpangan di
bawahnya sembari bertanya dengan nada menantang, what’s next?
Seperti bakalan ada next buatku saja.
Kuberitahu ya, aku melihat banyak
hal yang sebagian mungkin hanya akan berada dalam imajinasimu. Well, mungkin memang tidak sebanyak itu,
tapi aku hampir bisa melihat semuanya. Ya, kau dengar aku. Semuanya. Aku tahu
ada cerita dibalik tiap senyum bahagia yang disunggingkan orang-orang. Aku bisa
melihat kisah yang membuat seseorang bisa melangkah dan menyakini setiap
langkahnya. Aku mampu merasakan kesedihan, penderitaan, semua jenis luka yang
membuat seseorang tertahan setiap harinya. Aku bahkan—kalian bisa menyebutku
kurang ajar kalau kalian mau. Maksudku, silahkan saja. Demi Tuhan aku tidak
akan keberatan—hidup di dalamnya. Aku tahu agak berlebihan kalau mengatakan aku
seperti menonton sekaligus memerankannya, tapi memang itulah yang sebenarnya
terjadi. Bukan hanya melihat, namun aku juga mampu merasakannya.
Karena persis itulah yang terjadi
padaku.
Diabaikan? Ditinggalkan? Dikhianati?
Dinomorduakan? Sebut saja, aku tidak apa-apa kok. Kau tahu? Aku sedang berpikir
kalau aku mendapati diriku tertawa-tawa, sepenuhnya menikmati diriku, itu
adalah tanda bahwa dramanya telah usai. Aku bisa berhenti memandang sinis semua
hal lalu hidup. Tahu bahwa sekaranglah saatnya. Menurutku, bukan salahku jika
aku selalu lebih bisa merasakan kesedihan ketimbang membuka diriku pada
kesempatan yang ditawarkan kebahagian. Maksudku, memangnya aku punya ya,
kesempatan untuk memilih itu sendiri? Ya, aku tahu tentang bagaimana masa
ketika penderitaan tampak seperti berjatuhan ke arahmu justru adalah saat
menyenangkan dimana Tuhan—Allah—sedang merindukanmu. Tapi bagaimana aku bisa
tahu kalau kerinduan itu berbalas? Bagaimana aku bisa mengira Ia tidak jijik
kepadaku sementara aku sendiri selalu melewatkan cermin tiap pagi sebelum aku
berangkat kuliah (mungkin sebaiknya aku menghapus ini karena masa-masa itu
sudah lewat dan membicarakannya di sini hanya akan membuatnya semakin nyata. Terlalu
nyata. Tentu
saja yang aku maksud adalah kuliah) ? Karena tidak ada satupun orang yang tidak
menyadarinya; aku kembali hanya ketika aku berpikir aku sudah tidak punya
tempat untuk didatangi. Masih berpikir kalau kalau kau hamba yang payah? Pikir
lagi! Dan supaya kau tahu, aku tidak mengatakan ini semua untuk membuat
orang-orang bersimpati. Perlakuan, apa saja, yang kau dapatkan setelah kau
mengungkapan kebenaran biasanya tidak akan jauh-jauh dari perasaan bersalah dan
kasihan, yang tidak akan membuatku lebih baik. Soalnya kalau mereka bicara soal
waktu, aku tidak akan bisa tidak menanyakan ke mana gerangan mereka ketika aku
sedang berada di dasar jurangku. Aku sudah memanjat setengahnya, aku
benar-benar merasa tidak perlu dilemparkan tali yang aku tahu sewaktu-waktu
akan ditarik kembali karena mereka tidak tahan dengan kelambananku. Atau putus
karena seseorang secara menyenangkan hanya mengikatnya ke pohon sementara mereka
pergi menjalani hidup mereka. Hak mereka, jadi aku tidak akan—bisa—melakukan
apa-apa soal itu.
Aku tidak memikirkan seseorang
secara khusus saat menulis ini. Tidak seperti biasanya. Mungkin Jenny dan
Brandon di dalam sana telah mencapai kesepakatan tidak tertulis untuk berhenti
membuatku merasa khawatir dengan segala sesuatunya, dengan berhenti berpikir.
Aku tidak akan bilang itu ide bagus. Tapi aku memang mulai merasa kewalahan.
Aku hanya punya satu otak, demi Tuhan!
Ngomong-ngomong, inilah hal yang
kulakukan hampir setiap hari. Meracau. Aku akan hati-hati kalau jadi kau. Bisa
jadi, kau sedang berbicara dan atau membaca catatan seseorang yang akan menjadi
the next Jason. Itu loh, psikopat
yang kegiatan favoritnya memisahkan bagian tubuh orang-orang dengan gunting
manis berukuran satu meter. Ugh,
mengingatnya saja aku sudah mual. Oh aku memang tidak suka darah, aku bisa
merinding plus pusing plus kehilangan selera makan bahkan hanya dengan melihat
gambarnya. Jangan ketakutan begitu, aku juga tidak suka mengacaukan hidup orang
lain, kau tahu? Kau tidak perlu khawatir aku akan merengek-rengek di sini.
Bahkan menggunakan kata ganti orang pertama tidak akan banyak membantu, kau dan aku sepanjang waktu. Jelas dong, aku tidak bisa berpura-pura yakin
kalau ada seseorang yang peduli mengenai ini semua. Maksudku kalau ada orang
yang secara kebetulan—atau tidak—berhenti untukku, aku tidak bisa mengenyahkan
pikiran “kau melakukan ini hanya karena kau tidak punya pilihan lain untuk
dilakukan. Sementara pilihan lain terlalu menuntut hal lain darimu, tentu saja
kau tidak mau kehilangan lebih banyak bukan?”. Dan itu semua sudah cukup untuk
membuatku menarik diri. Kau bercanda, ya? Menurutmu aku harus apa saat orang
mengatakan hal semacam aku tidak
menginginkan atau membutuhkan perlindunganmu. Faktanya, tidak ada yang
menginginkan kehadiranmu di sini. Kukira sudah saatnya bagi semua orang
untuk tahu bahwa aku—alih-alih baik—adalah bodoh, karena aku merasa tidak cukup
baik untuk mengatakan hal pintar apapun sebagai balasannya, tanpa
merendahkan diri sendiri dan kemudian merasa telah melakukan sesuatu yang
sangat jahat. Mungkin waktu untuk aku berhenti mengkhawatirkan apa yang terjadi
pada orang lain akan tiba jika aku sabar menunggu. Hingga aku menemukan diriku
sendiri mampu mengatakan hal ini tanpa merasa getir, mungkin dengan sedikit
nada sombong dan sinis kesukaanku;
Oooh,
aduh, itu bakal meninggalkan luka yang sangat dalam. Katakan, siapa yang
menginginkan keberadaanku dan aku bakal langsung cabut.
Aku diinterupsi oleh pemikiran lain
yang tiba-tiba menyapu wajahku, pikiranku, semua detail kecil yang membangun
aku yang kau lihat sekarang; bahwa aku telah menghamburkan terlalu banyak kata,
aku sudah menuliskan semuanya. Sekarang, yang perlu kulakukan adalah menunggu
jawabannya. Mencari. Tahu bahwa sekaranglah saatnya. Untuk menyadari kalau kau
punya hidup yang harus kau jalani. Melihat bagaimana hidup itu berjalan seperti
menyentakkanku. Itu seperti; Ya Tuhan,
kau nyata! Kau orang sungguhan yang bernapas, hidup, dan berjalan seperti
halnya aku. Apa gerangan yang aku lakukan disini? Kalau memang membutuhkanmu,
kenapa aku tidak merasakan itu saja? Kenapa aku merasa seperti telah merenggut
sesuatu darimu? Aku mungkin sudah
memantapkan sendiri posisiku sebagai orang-menyebalkan-yang-harus-kau hindari
(aku masih berharap ada brosur sungguhan mengenai ini) dengan mengatakan semua
hal ini. Tapi inilah hal terbaik yang bisa aku tawarkan padamu. Pada semua
orang yang mungkin sempat membaca ini. Aku orang yang mengenal hidup dengan
sangat baik, tahu bahwa dia akan menjadi seburuk dan sebaik yang aku pikirkan.
Kau butuh hidupmu. Tapi aku bisa merasakan kepedihan yang terkandung dalam tiga
kata itu, dan itu lebih daripada dugaanku. Aku tak ingin merasakannya. Aku
tidak ingin merasa bersalah karena membutuhkan.
Mungkin ini alasan sesungguhnya
kenapa semuanya tampak seperti pergi meninggalkanku pelan-pelan. Aku tidak
menghalau perasaan-perasaanku yang memungkinkanku melihat semuanya dengan kejelasan
yang berlebihan. Aku hanya aku yang percaya kalau perasaan tidak menyehatkan
untuk dibiarkan berlama-lama mengendap. Resiko yang kau hadapi akan sebesar
kanker, percaya deh.
Aku ingin kembali. Pada apa yang
telah menjadi takdirku sejak awal. Dan aku tidak peduli apakah aku bahkan tahu takdir mana
yang kubicarakan atau tidak. Hanya saja, kalau ada seseorang yang menghakimi
semua nilai yang kuyakini, lalu memberitahu apa yang harus kulakukan, aku tahu
aku akan membencinya. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan semua pembicaraan
ini.
Aku di sini. Aku peduli. Aku tidak rewel. Aku
bisa lembut, menyayangi, dan memberi. Aku cukup pandai. Aku pandai melihat
perasaan. Aku tidak jenius, tetapi mempunyai selera humor yang menyenangkan…
begitu banyak yang bisa kutawarkan. Aku bukan orang populer. Aku tidak cantik.
Aku tidak feminim. Aku tidak putih. Tetapi aku cukup baik untuk sementara
waktu.
Aku
tahu aku begitu.
Ya, ‘kan?
Maksudku.. ah, lupakan saja.