Pages

Language

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

As Time Passes By

Tuesday, 4 September 2012

These are what i got inside


Apa yang membuatmu hidup dan mampu menghembuskan napas hingga saat ini? Selain bahwa Tuhan menginginkan begitu dan bukan sebaliknya, apalagi yang bisa membuatmu yakin bahwa sesuatu sedang menunggumu seperti yang telah dijanjikan?

            Tidak perlu diragukan, pikiran manusia pastilah hal terumit yang pernah ada. Karenanya aku tidak akan mencoba menambah kerumitan itu dengan menanyakan pertanyaan yang mungkin akan kutanyakan kalau aku sungguhan jalang. Aku sendiri jadi sedikit penasaran—ya, sedikit, karena aku tidak akan pergi ke mana-mana setelah ini dalam waktu yang cukup lama, seperti kebanyakan para pemberani yang masih bisa menegakkan kepala di saat semua hal bergelimpangan di bawahnya sembari bertanya dengan nada menantang, what’s next?
            Seperti bakalan ada next buatku saja.
            Kuberitahu ya, aku melihat banyak hal yang sebagian mungkin hanya akan berada dalam imajinasimu. Well, mungkin memang tidak sebanyak itu, tapi aku hampir bisa melihat semuanya. Ya, kau dengar aku. Semuanya. Aku tahu ada cerita dibalik tiap senyum bahagia yang disunggingkan orang-orang. Aku bisa melihat kisah yang membuat seseorang bisa melangkah dan menyakini setiap langkahnya. Aku mampu merasakan kesedihan, penderitaan, semua jenis luka yang membuat seseorang tertahan setiap harinya. Aku bahkan—kalian bisa menyebutku kurang ajar kalau kalian mau. Maksudku, silahkan saja. Demi Tuhan aku tidak akan keberatan—hidup di dalamnya. Aku tahu agak berlebihan kalau mengatakan aku seperti menonton sekaligus memerankannya, tapi memang itulah yang sebenarnya terjadi. Bukan hanya melihat, namun aku juga mampu merasakannya.
            Karena persis itulah yang terjadi padaku.
            Diabaikan? Ditinggalkan? Dikhianati? Dinomorduakan? Sebut saja, aku tidak apa-apa kok. Kau tahu? Aku sedang berpikir kalau aku mendapati diriku tertawa-tawa, sepenuhnya menikmati diriku, itu adalah tanda bahwa dramanya telah usai. Aku bisa berhenti memandang sinis semua hal lalu hidup. Tahu bahwa sekaranglah saatnya. Menurutku, bukan salahku jika aku selalu lebih bisa merasakan kesedihan ketimbang membuka diriku pada kesempatan yang ditawarkan kebahagian. Maksudku, memangnya aku punya ya, kesempatan untuk memilih itu sendiri? Ya, aku tahu tentang bagaimana masa ketika penderitaan tampak seperti berjatuhan ke arahmu justru adalah saat menyenangkan dimana Tuhan—Allah—sedang merindukanmu. Tapi bagaimana aku bisa tahu kalau kerinduan itu berbalas? Bagaimana aku bisa mengira Ia tidak jijik kepadaku sementara aku sendiri selalu melewatkan cermin tiap pagi sebelum aku berangkat kuliah (mungkin sebaiknya aku menghapus ini karena masa-masa itu sudah lewat dan membicarakannya di sini hanya akan membuatnya semakin nyata. Terlalu nyata. Tentu saja yang aku maksud adalah kuliah) ? Karena tidak ada satupun orang yang tidak menyadarinya; aku kembali hanya ketika aku berpikir aku sudah tidak punya tempat untuk didatangi. Masih berpikir kalau kalau kau hamba yang payah? Pikir lagi! Dan supaya kau tahu, aku tidak mengatakan ini semua untuk membuat orang-orang bersimpati. Perlakuan, apa saja, yang kau dapatkan setelah kau mengungkapan kebenaran biasanya tidak akan jauh-jauh dari perasaan bersalah dan kasihan, yang tidak akan membuatku lebih baik. Soalnya kalau mereka bicara soal waktu, aku tidak akan bisa tidak menanyakan ke mana gerangan mereka ketika aku sedang berada di dasar jurangku. Aku sudah memanjat setengahnya, aku benar-benar merasa tidak perlu dilemparkan tali yang aku tahu sewaktu-waktu akan ditarik kembali karena mereka tidak tahan dengan kelambananku. Atau putus karena seseorang secara menyenangkan hanya mengikatnya ke pohon sementara mereka pergi menjalani hidup mereka. Hak mereka, jadi aku tidak akan—bisa—melakukan apa-apa soal itu.
            Aku tidak memikirkan seseorang secara khusus saat menulis ini. Tidak seperti biasanya. Mungkin Jenny dan Brandon di dalam sana telah mencapai kesepakatan tidak tertulis untuk berhenti membuatku merasa khawatir dengan segala sesuatunya, dengan berhenti berpikir. Aku tidak akan bilang itu ide bagus. Tapi aku memang mulai merasa kewalahan. Aku hanya punya satu otak, demi Tuhan!
            Ngomong-ngomong, inilah hal yang kulakukan hampir setiap hari. Meracau. Aku akan hati-hati kalau jadi kau. Bisa jadi, kau sedang berbicara dan atau membaca catatan seseorang yang akan menjadi the next Jason. Itu loh, psikopat yang kegiatan favoritnya memisahkan bagian tubuh orang-orang dengan gunting manis berukuran satu meter. Ugh, mengingatnya saja aku sudah mual. Oh aku memang tidak suka darah, aku bisa merinding plus pusing plus kehilangan selera makan bahkan hanya dengan melihat gambarnya. Jangan ketakutan begitu, aku juga tidak suka mengacaukan hidup orang lain, kau tahu? Kau tidak perlu khawatir aku akan merengek-rengek di sini. Bahkan menggunakan kata ganti orang pertama tidak akan banyak membantu, kau dan aku sepanjang waktu. Jelas dong, aku tidak bisa berpura-pura yakin kalau ada seseorang yang peduli mengenai ini semua. Maksudku kalau ada orang yang secara kebetulan—atau tidak—berhenti untukku, aku tidak bisa mengenyahkan pikiran “kau melakukan ini hanya karena kau tidak punya pilihan lain untuk dilakukan. Sementara pilihan lain terlalu menuntut hal lain darimu, tentu saja kau tidak mau kehilangan lebih banyak bukan?”. Dan itu semua sudah cukup untuk membuatku menarik diri. Kau bercanda, ya? Menurutmu aku harus apa saat orang mengatakan hal semacam aku tidak menginginkan atau membutuhkan perlindunganmu. Faktanya, tidak ada yang menginginkan kehadiranmu di sini. Kukira sudah saatnya bagi semua orang untuk tahu bahwa aku—alih-alih baik—adalah bodoh, karena aku merasa tidak cukup baik untuk mengatakan hal pintar apapun sebagai balasannya, tanpa merendahkan diri sendiri dan kemudian merasa telah melakukan sesuatu yang sangat jahat. Mungkin waktu untuk aku berhenti mengkhawatirkan apa yang terjadi pada orang lain akan tiba jika aku sabar menunggu. Hingga aku menemukan diriku sendiri mampu mengatakan hal ini tanpa merasa getir, mungkin dengan sedikit nada sombong dan sinis kesukaanku;
            Oooh, aduh, itu bakal meninggalkan luka yang sangat dalam. Katakan, siapa yang menginginkan keberadaanku dan aku bakal langsung cabut.
            Aku diinterupsi oleh pemikiran lain yang tiba-tiba menyapu wajahku, pikiranku, semua detail kecil yang membangun aku yang kau lihat sekarang; bahwa aku telah menghamburkan terlalu banyak kata, aku sudah menuliskan semuanya. Sekarang, yang perlu kulakukan adalah menunggu jawabannya. Mencari. Tahu bahwa sekaranglah saatnya. Untuk menyadari kalau kau punya hidup yang harus kau jalani. Melihat bagaimana hidup itu berjalan seperti menyentakkanku. Itu seperti; Ya Tuhan, kau nyata! Kau orang sungguhan yang bernapas, hidup, dan berjalan seperti halnya aku. Apa gerangan yang aku lakukan disini? Kalau memang membutuhkanmu, kenapa aku tidak merasakan itu saja? Kenapa aku merasa seperti telah merenggut sesuatu darimu?  Aku mungkin sudah memantapkan sendiri posisiku sebagai orang-menyebalkan-yang-harus-kau hindari (aku masih berharap ada brosur sungguhan mengenai ini) dengan mengatakan semua hal ini. Tapi inilah hal terbaik yang bisa aku tawarkan padamu. Pada semua orang yang mungkin sempat membaca ini. Aku orang yang mengenal hidup dengan sangat baik, tahu bahwa dia akan menjadi seburuk dan sebaik yang aku pikirkan. Kau butuh hidupmu. Tapi aku bisa merasakan kepedihan yang terkandung dalam tiga kata itu, dan itu lebih daripada dugaanku. Aku tak ingin merasakannya. Aku tidak ingin merasa bersalah karena membutuhkan.
            Mungkin ini alasan sesungguhnya kenapa semuanya tampak seperti pergi meninggalkanku pelan-pelan. Aku tidak menghalau perasaan-perasaanku yang memungkinkanku melihat semuanya dengan kejelasan yang berlebihan. Aku hanya aku yang percaya kalau perasaan tidak menyehatkan untuk dibiarkan berlama-lama mengendap. Resiko yang kau hadapi akan sebesar kanker, percaya deh.
            Aku ingin kembali. Pada apa yang telah menjadi takdirku sejak awal. Dan aku tidak peduli apakah aku bahkan tahu takdir mana yang kubicarakan atau tidak. Hanya saja, kalau ada seseorang yang menghakimi semua nilai yang kuyakini, lalu memberitahu apa yang harus kulakukan, aku tahu aku akan membencinya. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan semua pembicaraan ini.
                Aku di sini. Aku peduli. Aku tidak rewel. Aku bisa lembut, menyayangi, dan memberi. Aku cukup pandai. Aku pandai melihat perasaan. Aku tidak jenius, tetapi mempunyai selera humor yang menyenangkan… begitu banyak yang bisa kutawarkan. Aku bukan orang populer. Aku tidak cantik. Aku tidak feminim. Aku tidak putih. Tetapi aku cukup baik untuk sementara waktu.
               Aku tahu aku begitu.
               Ya, ‘kan?
               Maksudku.. ah, lupakan saja.